Namaku Andi mahasiswa di sebuah universitas terkenal di Surakarta. Di kampungku sebuah desa di pinggiran kota Sragen ada seorang gadis, Ana namanya. Ana merupakan gadis yang cantik, berkulit kuning dengan body yang padat didukung postur tubuh yang tinggi membuat semua kaum Adam menelan ludah dibuatnya. Begitu juga dengan aku yang secara diam-diam menaruh hati padanya walaupun umurku 5 tahun dibawahnya, tapi rasa ingin memiliki dan nafsuku lebih besar dari pada mengingat selisih umur kami. Kebetulan rumah Mbak Ana tepat berada di samping rumahku dan rumah itu kiranya tidak mempunyai kamar mandi di dalamnya, melainkan bilik kecil yang ada di luar rumah. Kamar Mbak Ana berada di samping kanan rumahku, dengan sebuah jendela kaca gelap ukuran sedang. Kebiasaan Mbak Ana jika tidur lampu dalam rumahnya tetap menyala, itu kuketahui karena kebiasaan burukku yang suka mengintip orang tidur, aku sangat terangsang jika melihat Mbak Ana sedang tidur dan akhirnya aku melakukan onani di depan jendela kamar Mbak Ana.
Ketika itu aku pulang dari kuliah lewat belakang rumah karena sebelumnya aku membeli rokok Sampurna A Mild di warung yang berada di belakang rumahku. Saat aku melewati bilik Mbak Ana, aku melihat sosok tubuh yang sangat kukenal yang hanya terbungkus handuk putih bersih, tak lain adalah Mbak Ana, dan aku menyapanya, “Mau mandi Mbak,” sambil menahan perasaan yang tak menentu. “Iya Ndik, mau ikutan..” jawabnya dengan senyum lebar, aku hanya tertawa menanggapi candanya. Terbersit niat jahat di hatiku, perasaanku menerawang jauh membanyangkan tubuh Mbak Ana bila tidak tertutup sehelai benangpun.
Niat itupun kulakukan walau dengan tubuh gemetar dan detak jantung yang memburu, kebetulan waktu itu keadaan sunyi dengan keremangan sore membuatku lebih leluasa. Kemudian aku mempelajari situasi di sekitar bilik tempat Mbak Ana mandi, setelah memperkirakan keadaan aman aku mulai beroperasi dan mengendap-endap mendekati bilik itu. Dengan detak jantung yang memburu aku mencari tempat yang strategis untuk mengintip Mbak Ana mandi dan dengan mudah aku menemukan sebuah lubang yang cukup besar seukuran dua jari. Dari lubang itu aku cukup leluasa menikmati kemolekan dan keindahan tubuh Mbak Ana dan seketika itu juga detak jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, tubuhku gemetar hingga kakiku terasa tidak dapat menahan berat badanku. Kulihat tubuh yang begitu sintal dan padat dengan kulit yang bersih mulus begitu merangsang setiap nafsu lelaki yang melihatnya, apalagi sepasang panyudara dengan ukuran yang begitu menggairahkan, kuning langsat dengan puting yang coklat tegak menantang setiap lelaki.
Kemudian kupelototi tubuhnya dari atas ke bawah tanpa terlewat semilipun. Tepat di antara kedua kaki yang jenjang itu ada segumpal rambut yang lebat dan hitam, begitu indah dan saat itu tanpa sadar aku mulai menurunkan reitsletingku dan memegangi kemaluanku, aku mulai membayangkan seandainya aku dapat menyetubuhi tubuh Mbak Ana yang begitu merangsang birahiku.Terasa darahku mengalir dengan cepat dan dengusan nafasku semakin memburu tatkala aku merasakan kemaluanku begitu keras dan berdenyut-denyut. Aku mempercepat gerakan tanganku mengocok kemaluanku, tanpa sadar aku mendesah hingga mengusik keasyikan Mbak Ana mandi dan aku begitu terkejut juga takut ketika melihat Mbak Ana melirik lubang tempatku mengintipnya mandi sambil berkata, “Ndik ngintip yaaa…” Seketika itu juga nafsuku hilang entah kemana berganti dengan rasa takut dan malu yang luar biasa. Kemudian aku istirahat dan mengisap rokok Mild yang kubeli sebelum pulang ke rumah, kemudian kulanjutkan kegiatanku yang terhenti sesaat.
Setelah aku mulai beraksi lagi, aku terkejut untuk kedua kalinya, seakan-akan Mbak Ana tahu akan kehadiranku lagi. Ia sengaja memamerkan keindahan tubuhnya dengan meliuk-liukkan tubuhnya dan meremas-remas payudaranya yang begitu indah dan ia mendesah-desah kenikmatan. Disaat itu juga aku mengeluarkan kemaluanku dan mengocoknya kuat-kuat. Melihat permainan yang di perlihatkan Mbak Ana, aku sangat terangsang ingin rasanya aku menerobos masuk bilik itu tapi ada rasa takut dan malu. Terpaksa aku hanya bisa melihat dari lubangtempatku mengintip.
Kemudian Mbak Ana mulai meraba-raba seluruh tubuhnya dengan tangannya yang halus disertai goyangan-goyangan pinggul, tangan kanannya berhenti tepat di liang kewanitaannya dan mulai mengusap-usap bibir kemaluannya sendiri sambil tangannya yang lain di masukkan ke bibirnya. Kemudian jemari tangannya mulai dipermainkan di atas kemaluannya yang begitu menantang dengan posisi salah satu kaki diangkat di atas bak mandi, pose yang sangat merangsang kelelakianku. Aku merasa ada sesuatu yang mendesak keluar di kemaluanku dan akhirnya sambil mendesah lirih, “Aahhkkkhh…” aku mengalami puncak kepuasan dengan melakukan onani sambil melihat Mbak Ana masturbasi. Beberapa saat kemudian aku juga mendengar Mbak Ana mendesah lirih, “Oohhh.. aaahh..” dia juga mencapai puncak kenikmatannya dan akhirnya aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan puas.
Di suatu sore aku berpapasan dengan Mbak Ana.
“Sini Ndik,” ajaknya untuk mendekat, aku hanya mengikuti kemauannya, terbersit perasaan aneh dalam benakku.
“Mau kemana sore-sore gini,” tanyanya kemudian.
“Mau keluar Mbak, beli rokok..” jawabku sekenanya.
“Di sini aja temani Mbak Ana ngobrol, Mbak Ana kesepian nih..” ajak Mbak Ana.
Dengan perlahan aku mengambil tempat persis di depan Mbak Ana, dengan niat agar aku leluasa memandangi paha mulus milik Mbak Ana yang kebetulan cuma memakai rok mini diatas lutut.
“Emangnya pada kemana, Mbak..” aku mulai menyelidik.
“Bapak sama Ibu pergi ke rumah nenek,” jawabnya sambil tersenyum curiga.
“Emang ada acara apa Mbak,” tanyaku lagi sambil melirik paha yang halus mulus itu ketika rok mini itu semakin tertarik ke atas.
Sambil tersenyum manis ia menjawab, “Nenek sedang sakit Ndik, yaa… jadi aku harus nunggu rumah sendiri.”
Aku hanya manggut-manggut.
“Eh… Ndik ke dalam yuk, di luar banyak angin,” katanya.
“Mbak punya CD bagus lho,” katanya lagi.
Tanpa menunggu persetujuanku ia langsung masuk ke dalam, menuju TV yang di atasnya ada
VCD player dan aku hanya mengikutinya dari belakang, basa-basi aku bertanya, “Filmnya apa Mbak..”
Sambil menyalakan VCD, Mbak Ana menjawab, “Titanic Ndik, udah pernah nonton.”
Aku berbohong menjawab, “Belum Mbak, filmnya bagus ya..”
Mbak Ana hanya mengangguk mengiyakan pertanyaanku.
Setelah film terputar, tanpa sadar aku tertidur hingga larut malam dan entah mengapa Mbak Ana juga tidak membangunkanku. Aku melihat arloji yang tergantung di dinding tembok di atas TV menandakan tepat jam 10 malam. Aku menebarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang nampak sepi dan tak kutemui Mbak Ana. Pikiranku mulai dirasuki pikiran-pikiran yang buruk dan pikirku sekalian tidur disini aja. Memang aku sering tidur di rumah teman dan orang tuaku sudah hafal dengan kebiasaanku, akupun tidak mencemaskan jika orang tuaku mencariku. Waktu berlalu, mataku pun tidak bisa terpejam karena pikiran dan perasaanku mulai kacau, pikiran- pikiran sesat telah mendominasi sebagian akal sehatku dan terbersit niat untuk masuk ke kamar Mbak Ana. Aku terkejut dan nafasku memburu, jantungku berdetak kencang ketika melihat pintu kamar Mbak Ana terbuka lebar dan di atas tempat tidur tergolek sosok tubuh yang indah dengan posisi terlentang dengan kaki ditekuk ke atas setengah lutut hingga kelihatan sepasang paha yang gempal dan di tengah selakangan itu terlihat dengan jelas CD yang berwarna putih berkembang terlihat ada gundukan yang seakan-akan penuh dengan isi hingga mau keluar.
Nafsu dan darah lelakiku tidak tertahan lagi, kuberanikan mendekati tubuh yang hanya dibungkus dengan kain tipis dan dengan perlahan kusentuh paha yang putih itu, kuusap dari bawah sampai ke atas dan aku terkejut ketika ada gerakan pada tubuh Mbak Ana dan aku bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Sesaat kemudian aku kembali keluar melihat keadaan dan posisi tidur Mbak Ana yang menambah darah lelakiku berdesir hebat, dengan posisi kaki mengangkang terbuka lebar seakan-akan menantang supaya segera dimasuki kemaluan laki-laki.
Aku semakin berani dan mulai naik ke atas tempat tidur, tanpa pikir panjang aku mulai menjilati kedua kaki Mbak Ana dari bawah sampai ke belahan paha tanpa terlewat semilipun. Seketika itu juga ia menggelinjang kenikmatan dan aku sudah tidak mempedulikan rasa takut dan malu terhadap Mbak Ana. Sampai di selangkangan, aku merasa kepalaku dibelai kedua tangan yang halus dan akupun tidak menghiraukan kedua tangan itu. Lama-kelamaan tangan itu semakin kuat menekan kepalaku lebih masuk lagi ke dalam kemaluan Mbak Ana yang masih terbukus CD putih itu. Dia menggoyang-goyangkan pantatnya, tanpa pikir panjang aku menjilati bibir kemaluannya hingga CD yang semula kering menjadi basah terkena cairan yang keluar dari dalam liang kewanitaan Mbak Ana dan bercampur dengan air liurku.
Aku mulai menyibak penutup liang kewanitaan dan menjilati bibir kemaluan Mbak Ana yang memerah dan mulai berlendir hingga Mbak Ana terbangun dan tersentak. Secara refleks dia menampar wajahku dua kali dan mendorong tubuhku kuat-kuat hingga aku tersungkur ke belakang dan setelah sadar ia berteriak tidak terlalu keras, “Ndik kamu ngapaiiin…” dengan gemetar dan perasaan yang bercampur aduk antara malu dan takut, “Maafkan aku Mbak, aku lepas kontrol,” dengan terbata-bata dan aku meninggalkan kamar itu. Dengan perasaan berat aku menghempaskan pantatku ke sofa biru yang lusuh. Sesaat kemudian Mbak Ana menghampiriku, dengan tergagap aku mengulangi permintaan maafku, “Ma..ma..afkan… aku Mbak..” Mbak Ana cuma diam entah apa yang dipikirkan dan dia duduk tepat di sampingku. Beberapa saat keheningan menyelimuti kami berdua dan kamipun disibukkan dengan pikiran kami masing-masing sampai tertidur.
Pagi itu aku bangun, kulihat Mbak Ana sudah tidak ada lagi di sisiku dan sesaat kemudian hidungku memcium aroma yang memaksa perutku mengeluarkan gemuruh yang hebat. Mbak Ana memang ahli dibidang masak. Tiba-tiba aku mendengar bisikan yang merdu memanggil namaku, “Ndik ayo makan dulu, Mbak udah siapin sarapan nih,” dengan nada lembut yang seolah-olah tadi malam tidak ada kejadian apa-apa. “Iya Mbak, aku cuci muka dulu,” aku menjawab dengan malas.
Sesaat kemudian kami telah melahap hidangan buatan Mbak Ana yang ada di atas meja, begitu lezatnya masakan itu hingga tidak ada yang tersisa, semua kuhabiskan. Setelah itu seperti biasa, aku menyalakan rokok Mild kesayanganku, “Ndik maafkan Mbak tadi malam ya,” Mbak Ana memecah keheningan yang kami ciptakan.
“Harusnya aku tidak berlaku kasar padamu Ndik,” tambahnya.
Aku jadi bingung dan menduga-duga apa maksud Mbak Ana, kemudian akupun menjawab,
“Seharusnya aku yang meminta maaf pada Mbak, aku yang salah,” kataku dengan menundukkan kepala.
“Tidak Ndik.. aku yang salah, aku terlalu kasar kepadamu,” bisik Mbak Ana.
Akupun mulai bisa menangkap kemana arah perkataan Mbak Ana.
“Kok bisa gitu Mbak, kan aku yang salah,” tanyaku memancing.
“Nggak Ndik.. aku yang salah,” katanya dengan tenang, “Karena aku teledor, tapi nggak pa-pa kok Ndik.”
Aku terkejut mendengar jawaban itu.
“Ndik, Mbak Ana nanya boleh nggak,” bisik Mbak Ana mesra.
Dengan senyum mengembang aku menjawab, “Kenapa tidak Mbak.”
Dengan ragu-ragu Mbak Ana melanjutkan kata-katanya, “Kamu udah punya pacar Ndik..” suara itu pelan sekali lebih mirip dengan bisikan.
“Dulu sih udah Mbak tapi sekarang udah bubaran.” Kulihat ada perubahan di wajah Mbak Ana.
“Kenapa Ndik,” dan akupun mulai bercerita tentang hubunganku dengan Maria teman SMP-ku dulu yang lari dengan laki-laki lain beberapa bulan yang lalu, Mbak Ana pun mendengarkan dengan sesekali memotong ceritaku.
“Kalo Mbak Ana udah punya cowok belum,” tanyaku dengan berharap.
“Belum tuh Ndik, lagian siapa yang mau sama perawan tua seperti aku ini,” jawabnya dengan raut wajah yang diselimuti mendung.
“Kamu nggak cari pacar lagi Ndik,” sambung Mbak Ana.
Dengan mendengus pelan aku menjawab, “Aku takut kejadian itu terulang, takut kehilangan lagi.”
Dengan senyum yang manis dia mendekatiku dan membelai rambutku dengan mesra, “Kasian kamu Andi..” lalu Mbak Ana mencium keningku dengan lembut, aku merasa ada sepasang benda yang lembut dan hangat menempel di punggungku. Sesaat kemudian perasaanku melayang entah kemana, ada getaran asing yang belum pernah kurasakan selama ini.
“Ndik boleh Mbak jadi pengganti Maria,” bisik Mbak Ana mesra.
Aku bingung, perasaanku berkecamuk antara senang dan takut, “Andik takut Mbak,” jawabku lirih.
“Mbak nggak akan meninggalkanmu Ndik, percayalah,” dengan kecupan yang lembut.
“Bener Mbak, Mbak Ana berani sumpah tidak akan meninggalkan Andik,” bisikku spontan karena gembira.
Mbak Ana mengangguk dengan senyumnya yang manis, kamipun berpelukan erat seakan-akan tidak akan terpisahkan lagi.
Setelah itu kami nonton Film yang banyak adegan romantis yang secara tidak sadar membuat kami berpelukan, yang membuat kemaluanku berdiri. Entah disengaja atau tidak, kemudian Mbak Ana mulai merebahkan kepalanya di pangkuanku dan aku berusaha menahan nafsuku sekuat mungkin tapi mungkin Mbak Ana mulai menyadarinya.
“Ndik kok kamu gerak terus sih capek ya.”
Dengan tersipu malu aku menjawab, “Eh… nggak Mbak, malah Andik suka kok.”
Mbak Ana tersenyum, “Tapi kok gerak-gerak terus Ndik..”
Aku mulai kebingungan, “Eh.. anu kok.”
Mbak Anak menyahut, “Apaan Ndik, bikin penasaran aja.”
Kemudian Mbak Ana bangun dari pangkuanku dan mulai memeriksa apa yang bergerak di bawah kepalanya dan iapun tersenyum manis sambil tertawa, “Hii.. hii.. ini to tadi yang bergerak,” tanpa canggung lagi Mbak Ana membelai benda yang sejak tadi bergerak-gerak di dalam celanaku dan aku semakin tidak bisa menahan nafsu yang bergelora di dalam dadaku. Kuberanikan diri, tanganku membelai wajahnya yang cantik dan Mbak Ana seperti menikmati belaianku hingga matanya terpejam dan bibirnya yang sensual itu terbuka sedikit seperti menanti kecupan dari seorang laki-laki. Tanpa pikir panjang, kusentuhkan bibirku ke bibir Mbak Ana dan aku mulai melumat habis bibir yang merah merekah dan kami saling melumat bibir. Aku begitu terkejut ketika Mbak Ana memainkan lidahnya di dalam mulutku dan sepertinya lidahku ditarik ke dalam mulutnya, kemudian tangan kiri Mbak Ana memegang tanganku dan dibimbingnya ke belahan dadanya yang membusung dan tangan yang lain sedari tadi asyik memainkan kemaluanku. Akupun mulai berani meremas-remas buah dadanya dan Mbak Anapun menggelinjang kenikmatan, “Te..rus… Ndik aaahh…” Kemudian dengan tangan yang satunya lagi kuelus dengan lembut paha putih mulus Mbak Ana, semakin lama semakin ke atas.
Tiba-tiba aku dikejutkan tangan Mbak Ana yang semula ada di luar celana dan sekarang sudah mulai berani membuka reitsletingku dan menerobos masuk meremas-remas buah zakarku sambil berkata, “Sayang.. punyamu besar juga ya..” Akupun mulai berani mempermainkan kemaluan Mbak Ana yang masih terbungkus CD dan iapun semakin menggeliat seperti cacing kepanasan, “Aaahh lepas aja Ndik..” Sesaat kemudian CD yang melindungi bagian vital Mbak Ana sudah terhempas di lantai dan akupun mulai mempermainkan daging yang ada di dalam liang senggama Mbak Ana. “Aaahhh enak, enak Ndik masukkan aja Ndik,” jariku mulai masuk lebih dalam lagi, ternyata Mbak Ana sudah tidak perawan lagi, miliknya sudah agak longgar dan jariku begitu mudahnya masuk ke liang kewanitaannya.
Satu demi satu pakaian kami terhempas ke lantai sampai tubuh kami berdua polos tanpa selembar benang pun. Mbak Ana langsung memegang batang kemaluanku yang sudah membesar dan tegak berdiri, kemudian langsung diremas-remas dan diciumnya. Aku hanya bisa memejamkan mata merasakan kenikmatan yang diberikan Mbak Ana saat bibir yang lembut itu mengecup batang kemaluanku hingga basah oleh air liurnya yang hangat. Lalu lidah yang hangat itu menjilati hingga menimbulkan kenikmatan yang tak dapat digambarkan. Tidak puas menjilati batang kemaluanku, Mbak Ana memasukkan batang kemaluanku ke mulutnya yang sensual itu hingga amblas separuhnya, secara refleks kugoyangkan pantatku maju mundur dengan pelan sambil memegangi rambut Mbak Ana yang hitam dan lembut yang menambah gairah seksualku dan aroma harum yang membuatku semakin terangsang.
Setelah puas, Mbak Ana menghempaskan pantatnya di sofa. Akupun paham dan dengan posisi kaki Mbak Ana mengangkang menginjak kedua pundakku, aku langsung mencium paha yang jenjang dari bawah sampai ke atas. Mbak Ana menggelinjang keenakan, “Aaahhh…” desahan kenikmatan yang membuatku tambah bernafsu dan langsung bibir kemaluannya yang merah merekah itu kujilati sampai basah oleh air liur dan cairan yang keluar dari liang kenikmatan Mbak Ana.
Mataku terbelalak saat melihat di sekitar bibir kenikmatan itu ditumbuhi bebuluan yang halus dan lebat seperti rawa yang di tengahnya ada pulau merah merekah. Tanganku mulai beraksi menyibak kelebatan bebuluan yang tumbuh di pinggir liang kewanitaan, begitu indah dan merangsangnya liang sorga Mbak Ana ketika klitoris yang memerah menjulur keluar dan langsung kujilati hingga Mbak Ana meronta-ronta kenikmatan dan tangan Mbak Ana memegangi kepalaku serta mendorong lebih ke dalam kedua pangkal pahanya sambil menggoyanggoyangkan pinggulnya hingga aku kesulitan bernafas. Tanganku yang satunya meremas-remas dan memelintir puting susu yang sudah mengeras hingga menambah kenikmatan bagi Mbak Ana.
“Ndik.. udah… aaahhh, masukin.. ajaaa.. ooohh…” aku langsung berdiri dan siap-siap memasukkan batang kemaluanku ke lubang senggama Mbak Ana. Begitu menantang posisi Mbak Ana dengan kedua kaki mengangkang hingga kemaluannya yang merah mengkilat dan klitorisnya yang menonjol membuatku lebih bernafsu untuk meniduri tubuh Mbak Ana yang seksi dan mulus itu. Perlahan namun pasti, batang kemaluanku yang basah dan tegak kumasukkan ke dalam liang kewanitaan yang telah menganga menantikan kenikmatan sorgawi. Setelah batang kemaluanku terbenam kami secara bersamaan melenguh kenikmatan, “Aaahh…” dan mulai kugoyangkan perlahan pinggulku maju mundur, bagaikan terbang ke angkasa kenikmatan tiada tara kami reguk bersama. Bibir kamipun mulai saling memagut dan lidah Mbak Ana mulai bermain-main di dinding rongga mulutku, begitu nikmat dan hanggat. Liang senggama Mbak Ana yang sudah penuh dengan lendir kenikmatan itupun mulai menimbulkan suara yang dapat meningkatkan gairah seks kami berdua. Tubuh kamipun bermandikan keringat.
Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil Mbak Ana. “Aaaan… Anaaa..” Kami begitu terkejut, bingung dan grogi dengan bergegas kami memungut pakaian yang berserakan di lantai dan memakainya. Tanpa sadar kami salah ambil celana dalam, aku memakai CD Mbak Ana dan Mbak Ana juga memakai CD-ku. Kemudian aku keluar dari pintu belakang dan Mbak Ana membukakan pintu untuk bapak dan ibunya.
Keesokan harinya aku baru berniat mengembalikan CD milik Mbak Ana dan mengambil CD-ku yang kemarin tertukar. Aku berjalan melewati lorong sempit diantara rumahku dan rumah Mbak Ana. Kulihat Mbak Ana sedang mencuci pakaian di dekat sumur belakang rumahku. Setelah keadaan aman, aku mendekati Mbak Ana yang asyik mencuci pakaian termasuk CD-ku yang kemarin tertukar. Sambil menghisap rokok sampurna A Mild, “Mbak nih CD-nya yang kemarin tertukar,” sambil duduk di bibir sumur, sekilas kami bertatap muka dan meledaklah tawa kami bersamaan, “Haa.. Haaaa…” mengingat kejadian kemarin yang sangat menggelikan. Setelah tawa kami mereda, aku membuka percakapan, “Mbak kapan main lagi, kan kemarin belum puas.” Dengan senyum yang manis, “Kamu mau lagi Ndik, sekarang juga boleh..” Aku jadi terangsang sewaktu posisi Mbak Ana membungkuk dengan mengenakan daster tidur dan dijinjing hinggga di atas lutut. “Emang ibu Mbak Ana sudah berangkat ke sawah, Mbak,” sambil menempelkan kemaluanku yang mulai mengeras ke pantat Mbak Ana. “Eh…eh jangan disini Ndik, entar diliat orang kan bisa runyam.”
Kemudian Mbak Ana mengajakku masuk ke kamar mandi, sesaat kemudian di dalam kamar mandi kami sudah berpelukan dan seperti kesetanan aku langsung menciumi dan menjilati leher Mbak Ana yang putih bersih. “Ohhh nggak sabaran baget sih Ndik,” sambil melenguh Mbak Ana berbisik lirih. “Kan kemaren terganggu Mbak.” Setelah puas mencium leher aku mulai mencium bibir Mbak Ana yang merah merekah, tanganku pun mulai meremas-remas kedua bukit yang mulai merekah dan tangan yang satunya lagi beroperasi di bagian kemaluan Mbak Ana yang masih terbungkus CD yang halus dan tangan Mbak Ana pun mulai menyusup di dalam celanaku, memainkan batang kemaluanku yang mulai tegak dan berdenyut.
Sesaat kemudian pakaian kami mulai tercecer di lantai kamar mandi hingga tubuh kami polos tanpa sehelai benangpun. Tubuh Mbak Ana yang begitu seksi dan menggairahkan itu mulai kujilati mulai dari bibir turun ke leher dan berhenti tepat di tengah kedua buah dada yang ranum dengan ukuran yang cukup besar. Kemudian sambil meremas-remas belahan dada yang kiri puting susu yang kecoklatan itu kujilati hingga tegak dan keras. “Uhhh.. ahhh.. terus Ndik,” Mbak Ana melenguh kenikmatan ketika puting susu yang mengeras itu kugigit dan kupelintir menggunakan gigi depanku. “Aaahhh.. enak Mbak..” Mbak Anapun mengocok dan meremas batang kemaluanku hingga berdenyut hebat.
Kemudian aku duduk di bibir bak mandi dan Mbak Ana mulai memainkan batang kemaluanku dengan cara mengocoknya. “Ahhh.. uhhhhh..” tangan yang halus itu kemudian meremas buah zakarku dengan lembut dan bibirnya mulai menjilati batang kemaluanku. Terasa nikmat dan hangat ketika lidah Mbak Ana menyentuh lubang kencing dan memasukkan air liurnya ke dalamnya. Setelah puas menjilati, bibir Mbak Ana mulai mengulum hingga batang kemaluanku masuk ke dalam mulutnya. “Aahhh… uuuhhff…” lidah Mbak Ana menjilat kemaluanku di dalam mulutnya, kedua tanganku memegangi rambut yang lembut dan harum yang menambah gairah sekaligus menekan kepala Mbak Ana supaya lebih dalam lagi hingga batang kemaluanku masuk ke mulutnya.
“Gantian dong Ndik,” Mbak Ana mengiba memintaku bergantian memberi kenikmatan kepadanya. Kemudian aku memainkan kedua puting susu Mbak Ana, mulutku mulai bergerak ke bawah menuju selakangan yang banyak ditumbuhi bebuluan yang halus dan lebat. Mbak Anapun tanpa dikomando langsung mengangkangkan kedua kakinya hingga kemaluannya yang begitu indah merangsang setiap birahi laki-laki itu kelihatan dan klitorisnya yang kemerahan menonjol keluar, akupun menjilati klitoris yang kemerahan itu hingga berlendir dan membasahi bibir kemaluan Mbak Ana. “Aaahhh… aaahh… terus… enak..” Mbak Ana menggelinjang hebat dengan memegangi kepalaku, kedua tangannya menekan lebih ke dalam lagi.
Setelah liang kenikmatan bak Ana mulai basah dengan cairan yang mengkilat dan bercampur dengan air liur, kemudian aku memasukkan kedua jariku ke dalam liang kewanitaan Mbak Ana dan kumainkan maju mundur hingga Mbak Ana menggelinjang hebat dan tidak tahan lagi. “Ndik.. ooohh.. ufff cepetan masukin aja..” Dengan posisi berdiri dan sebelah kaki dinaikkan ke atas bibir bak mandi, Mbak Ana mulai menyuruh memasukkan batang kemaluanku ke liang senggamanya yang sejak tadi menunggu hujaman kemaluanku. Kemudian aku memegang batang kemaluanku dan mulai memasukkan ke liang kewanitaan Mbak Ana. “Aahhh…” kami bersamaan merintih kenikmatan, perlahan kuayunkan pinggulku maju mundur dan Mbak Ana mengikuti dengan memutar-mutar pinggulnya yang mengakibatkan batang kemaluanku seperti disedot dan diremas daging hidup hingga menimbulkan kenikmatan yang tiada tara. Kemudian kuciumi bibir Mbak Ana dan kuremas buah dadanya yang montok hingga Mbak Ana memejamkan matanya menahan kenikmatan. “Ahhh… uhhh…” Mbak Ana melenguh dan berbisik, “Lebih kenceng lagi Ndik.” Kemudian aku lebih mempercepat gerakan pantatku hingga menimbulkan suara becek, “Jreb.. crak.. jreb.. jreb…” suara yang menambah gairah dalam bermain seks hingga kami bermandikan keringat.
Setelah bosan dengan posisi seperti itu, Mbak Ana mengubah posisi dengan membungkuk, tangannya berpegangan pada bibir bak mandi kemudian aku memasukkan batang kemaluanku dari belakang. Terasa nikmat sekali ketika batang kemaluanku masuk ke liang senggama Mbak Ana. Terasa lebih sempit dan terganjal pinggul yang empuk. Kemudian tanganku memegangi leher Mbak Ana dan tangan yang lain meremas puting susunya yang bergelantungan. “Uuuhhh… ahhh enak Ndik,” dan aku semakin mempercepat gerakan pantatku. “Uuuhhh.. uuuhhh Ndik, Mbak mau keluar,” akupun merasakan dinding kemaluan Mbak Ana mulai menegang dan berdenyut begitu juga batang kemaluanku mulai berdenyut hebat. “Uuuhhhk.. aahh.. aku juga Mbak..” Kemudian tubuh Mbak Ana mengejang dan mempercepat goyangan pinggulnya lalu sesaat kemudian dia mencapai orgasme, “Aaahh… uuuhh…” Terasa cairan hangat membasahi batang kemaluanku dan suara decakan itupun semakin membecek “Jreeb… crak… jreb..” Akupun tak tahan lagi merasakan segumpalan sesuatu akan keluar dari lubang kencingku. “Aaahhh… ooohhh… Mbak Anaaa…” Terasa tulang-tulangku lepas semua, begitu capek. Akupun tetap berada di atas tubuh sintal Mbak Ana. Kemudian kukecup leher dan mulut Mbak Ana, “Makasih Mbak, Mbak Ana memang hebat..” Mbak Anapun cuma tersenyum manis.
-
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger Edit HTML and find these sentences. Now replace these with your own descriptions[...]
-
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger Edit HTML and find these sentences. Now replace these with your own descriptions[...]
-
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger Edit HTML and find these sentences. Now replace these with your own descriptions[...]
-
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger Edit HTML and find these sentences. Now replace these with your own descriptions[...]
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger Edit HTML and find these sentences. Now replace these with your own descriptions[...]
- Home
- Home
- inspirasi Blog
- Daftar Game Online
- daftar game online2 4
- Free Money $
- Dont Open This Link
pesta dengan 5 tante
Suatu sore aku iseng kirim SMS ke ponsel Tante Rissa. Sekedar say hello aja sih, soalnya udah lama juga aku nggak ketemu dia. Isinya singkat, “SORE TANTE, PA KBR NICH?”. Tanpa kuduga Tante Rissa langsung menelpon balik.
“Halo..”, sapaku.
“Hai.. bikin kaget aja, kirain siapa?” sahut Tante Rissa di seberang sana.
Terdengar ribut sekali, mungkin wanita itu sedang berada di tempat ramai.
“Hahaha.. kirain udah lupa sama aku Tante..”, balasku.
“Nggak dong sayang, eh kamu lagi ngapain nih?” tanya Tante Rissa.
“Yah.. lagi nunggu waktu pulang aja Tante.” jawabku.
“Abis itu mau kemana?” tanya Tante Rissa lagi.
“Ya pulang ke rumah..”, jawabku.
Tante Rissa tidak langsung menjawab. Terdengar suara-suara ribut di belakangnya dan terdengar suara Tante Rissa yang meladeni mereka.
“Kalo gitu jalan sama aku aja yuk..”, ajak Tante Rissa.
“Ngg.. lain kali deh Tante, kan bukan weekend..”, tolakku agak halus.
Aku tau betul kalau Tante Rissa ngajak jalan pasti ujung-ujungnya nginep. Entah di rumah, di villa atau di hotel.
“Aduh Yo.. sekali ini deh, kita lagi ada acara nih..”, bujuk Tante Rissa.
Aku masih berusaha menolaknya secara halus. Tante Rissa bilang bahwa ada salah seorang temannya yang ulang tahun, dan wanita itu ingin kenal dengan aku. Singkat cerita dengan setengah terpaksa aku mengiyakan ajakan Tante Rissa.
Pada saat Tante Rissa telepon sore tadi, ternyata dia dan beberapa temannya sedang belanja di Plaza Senayan, dari situ mereka berencana ke tempat karaoke di daerah Pluit. Tante Rissa memintaku menunggu di Atrium Senen untuk kemudian wanita itu menjemputku dan langsung ke Pluit. Jam tujuh kurang lima belas aku tiba di Atrium Senen. Aku segera mengontak Tante Rissa. Wanita itu ternyata sedang dalam perjalanan dan sudah sampai daerah Salemba. Kurang lebih lima belas menit kemudian ponselku berbunyi dan Tante Rissa memintaku untuk menunggu di lobi agar dia tidak perlu parkir.
Aku bergegas keluar menuju lobi, dan sampai di lobi aku melihat Tante Rissa melambai ke arahku dari dalam Peugeot 207. Aku segera menghampiri dan masuk ke belakang. Di dalam mobil ada dua wanita lain selain Tante Rissa.
“Hai.. udah lama Yo?” tanya Tante Rissa.
“Lumayan Tante, dua hari..”, kelakarku.
Ketiga wanita itu tertawa renyah.
“Dasar deh.. oya, kenalin ini teman-temenku, yang ini namanya Shinta dan yang ini Lisbeth..”, Tante Rissa mengenalkanku pada kedua wanita yang masih asing denganku itu.
Di dalam perjalanan kedua wanita itu cepat akrab denganku. Rupanya Tante Rissa sudah banyak cerita tentang aku. Dan mereka pun tak segan-segan bercerita tentang kehidupannya. Tante Shinta yang duduk di sebelahku berusia 35 tahun. Dari wajahnya terlihat kalau ada sedikit darah timur tengah di tubuhnya. Dan ternyata betul, wanita ini memiliki darah Pakistan. Kulitnya yang putih kemerahan saat itu terbalut baju terusan tanpa lengan yang panjangnya sampai menutupi setengah pahanya yang mulus. Buah dadanya tidak terlalu besar, namun pas dengan proporsi tubuhnya yang langsing berisi. Rambut hitamnya yang dipotong pendek memperlihatkan tengkuknya yang putih.
Tante Lisbeth yang berada di belakang kemudi adalah seorang wanita keturunan Chinese seusia Tante Rissa. Wajahnya sangat oriental ditambah kulitnya yang putih susu betul-betul memberi daya tarik sendiri di usianya yang sudah tidak muda lagi. Rambut ikalnya yang dicat coklat muda dibiarkan tergerai setali bra. Payudaranya yang mungkin berukuran 36 C tampak menonjol dengan tubuh rampingnya.
Butuh lebih dari setengah jam untuk sampai ke Pluit karena macet. Setelah memarkir mobil Tante Lisbeth menelpon seseorang. Aku tidak tau apa yang dibicarakan, tapi kelihatannya sekedar konfirmasi bahwa kami sudah ada di tempat. Kemudian kami berempat langsung menuju tempat karaoke yang dimaksud. Aku belum pernah ke tempat ini. Kadang memang aku suka ke karaoke, namun tempat karaoke yang satu ini kayaknya lebih privat. Begitu masuk lobi, Tante Rissa dkk langsung disambut dengan baik oleh resepsionisnya. Kelihatannya Tante Rissa dkk sudah sering ke tempat ini.
“Irene udah dateng belum?” tanya Tante Rissa pada resepsionis itu.
“Udah, katanya udah ditunggu dari tadi.” jawab si resepsionis.
Kemudian kami berempat langsung menuju ruangan yang ditunjuk si resepsionis.
“Haaii.. happy birthday..”.
Ketiga wanita tersebut berteriak-teriak ribut begitu memasuki ruangan karaoke. Di dalam ada seorang wanita yang disebut-sebut Irene tadi. Wanita itu tampak ceria sekali menyambut kedatangan teman-temannya. Usianya mungkin sebaya Tante Rissa. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit yang putih mulus. Wajahnya imut sekali untuk ukuran Ibu-Ibu seusianya. Rambut coklatnya yang dipotong pendek sebahu disisir rapi ke belakang. Baju terusan warna perak yang dikenakannya semakin membuat wanita itu terlihat elegan.
“Rio, kenalin nih.. yang punya acara.” seru Tante Rissa kepadaku.
Aku tersenyum menghampiri Tante Irene yang duduk di sofa. Wanita itu tersenyum manis sekali. Aku menyalami tangannya yang halus dan lembut.
“Oo.. ini yang namanya Rio..”, serunya.
Aku tersenyum.
“Iya, kan tadi katanya Tante pengen aku dateng..”, aku sedikit menggodanya.
Tidak kusangka wajah Tante Irene bersemu merah. Ketiga temannya tertawa menggoda wanita itu. Suasana pun tiba-tiba menjadi cair dan akrab sekali. Tante Rissa, Tante Shinta dan Tante Lisbeth tak henti-hentinya menggoda Tante Irene, seperti anak ABG yang main jodoh-jodohan.
Suasana tiba-tiba “dirusak” oleh pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka.
“Hai.. hai.. hai.. sori ya kelamaan tadi aku.. ups..”, tiba-tiba masuk seorang wanita yang juga sebaya mereka sambil menjinjing dua kardus berukuran sedang, sambil berteriak-teriak.
Namun teriakannya berhenti begitu melihat ada aku. Mungkin dia pikir siapa orang asing ini.
“Makanya kalo masuk ketok dulu dong..”, seru Tante Lisbeth sambil tertawa.
Wanita yang baru masuk itu masih tampak kebingungan.
“Ini lho Rio yang tadi kita bilang bakal ikutan party bareng kita. Kan kamu sendiri yang bilang nggak seru kalo full ladies party”, Tante Rissa mencoba menjelaskan.
Wanita itu tiba-tiba tersenyum seraya menghampiriku, dan mengulurkan tangannya.
“Bilang dong dari tadi.. bikin aku kaget aja, kirain mata-matanya si gendut..”, keempat wanita itu terbahak-bahak mendengar jawaban si wanita yang baru masuk.
Ternyata yang dimaksud si gendut adalah suaminya. Wanita itu menyalamiku dengan ramah. Namanya Yola. Tante Yola satu-satunya yang berbeda di antara wanita-wanita yang ada di situ. Tingginya sekitar 168 dengan berat yang proporsional. Rambutnya hitam legam panjang terurai hampir sepinggang dengan potongan lancip dan ngetrap. Yang paling membedakan adalah warna kulitnya yang hitam seperti orang-orang Afrika. Dan meskipun make up yang dikenakannya agak aneh menurutku (bayangkan saja dengan kulit yang hitam legam dia pakai lipstik warna hitam), namun terlihat pantas dan cantik.
Acara pun dimulai. Ruangan itu jauh lebih besar dibandinga ruangan-ruangan karaoke yang pernah aku datangi. Mungkin besarnya sebesar kamar hotel ukuran family room. Sebuah wide screen 50 inci terpampang di salah satu sudut. Di seberangnya ada sebuah sofa besar berbentuk setengah lingkaran tempat dimana kami duduk. Di tengah sofa ada meja yang cukup besar dengan beberapa katalog lagu dan mikrofon di atasnya.
Acara dimulai dengan memilih lagu Happy Birthday pada mesin pemilih lagu. Tante Yola membuka kardus yang tadi dibawanya. Ternyata isinya kue ulang tahun berukuran mini. Tante Rissa dan Tante Shinta membantu memasang lilin di atasnya. Sedang Tante Lisbeth menyiapkan pemantik api untuk menyalakan lilin tersebut. Tante Yola juga mengeluarkan beberapa botol minuman yang dibawanya. Aku tidak tau itu minuman apa tapi sepertinya yang jelas minuman beralkohol.
Keempat wanita tersebut dan aku mulai menyanyikan lagu Happy Birthday mengikuti lagu yang dimainkan di layar wide screen. Meski cuma berenam namun terasa meriah dan aku bisa merasakan kebersamaan mereka sebagai sahabat Tante Irene. Tante Irene yang berulang tahun terlihat tersenyum bahagia. Dan ketika lagu selesai wanita itu tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Matanya terlihat menggenang dan beberapa tetes air mulai turun dari ujung matanya.
“Aduuhh.. thanx banget ya.. Kamu semua tuh emang teman-teman aku yang paling top deh..”, Tante Irene memeluk dan mencium pipi mereka satu persatu. Begitu juga dengan aku.
“Thanx ya Yo, meskipun belum kenal kamu mau dateng ke sini.. mmuaachh..”, Tante Irene mencium pipiku. Aku balas mencium pipinya seperti dilakukan keempat sahabatnya.
“Sama-sama Tante, aku juga seneng bisa punya teman baru..”, jawabku.
“Ayo dong, sekarang tiup lilinnya..”, seru Tante Shinta seperti nggak sabar.
Tante Irene tersenyum. Kemudian wanita cantik itu meniup lilin berjumlah 36 buah yang tertancap di atas kue. Kami yang lain pun bertepuk tangan.
Acara berikutnya makan kue ulang tahun sambil berkaraoke. Masing-masing menyumbang satu lagu untuk Tante Irene. Secara bergiliran kami bernyanyi. Kadang kala berduet. Sementara yang tidak bernyanyi asyik menikmati kue ulang tahun dan minuman. Ternyata betul yang dibawa Tante Yola tadi minuman beralkohol. Aku nggak tau jenis-jenisnya karena aku memang tidak suka minum. Tante Irene rupanya memperhatikan hal itu.
“Rio kok kamu nggak minum-minum sih dari tadi?” tanyanya seraya merangkul pundakku. Aku tersenyum.
“Nggak Tante, aku nggak suka minum..”, jawabku. Tante Irene menunjukkan wajah cemberut yang dibuat manja.
“Kenapa? Gitu ya sama aku..”, rajuknya. Aku tertawa.
“Aduh sori Tante, bukannya aku nggak hargain Tante, tapi emang nggak doyan..”, jawabku lagi.
“Uuhh.. dasar, ya udah kamu pesen minuman lain gih di luar, tapi ada hukumannya lho.” ujar Tante Irene sambil bergelayut di bahuku.
“Hukumannya apa Tante?” tanyaku penasaran.
“Kamu nyanyi bareng aku ya..”, pintanya.
Aku tersenyum sambil mengiyakan. Yang lain pun setuju. Kami pun nyanyi bareng.
Jam sudah menunjukkan jam sembilan lewat. Suasana mulai tidak terkontrol. Kelima wanita yang mulai mabuk itu mulai bernyanyi-nyanyi dengan ngaco. Aku sendiri heran melihat mereka yang sejak tadi minum alkohol seperti minum air mineral saja. Entah sudah berapa botol yang dihabiskan. Suara mereka yang tadinya cukup bagus mulai fals dan liriknya pun ngelantur. Yang ada hanya suara tawa dan teriak-teriakan.
Lebih parah lagi mereka mulai memilih lagu-lagu dari katalog berlabel “Adult”. Dan aku baru tahu bahwa di katalog itu semua lagu ditampilkan dengan videoklip yang full pornografi. Mulai dari tarian-tarian telanjang sampai adegan persetubuhan. Kebanyakan isinya memang lagu-lagu disco. Dan kelima wanita itu mulai kehilangan rasa sungkannya, termasuk Tante Irene yang awalnya terlihat malu-malu. Dengan cueknya mereka bernyanyi sambil berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tak jarang mereka sampai naik ke atas meja sambil menari-nari erotis. Kadang mereka pun menggodaku dengan memperlihatkan sebagian sex appealnya. Birahiku pun mulai naik. Namun aku masih belum berani berbuat apa-apa. Aku masih berpikir bahwa ini hanyalah pesta ulang tahun.
Dugaanku benar. Kegilaan itu berakhir dengan cukup wajar. Mereka mulai capek, atau lebih tepatnya bosan. tak terasa sudah hampir jam sebelas. Aku melihat mereka berkemas-kemas. Huh.. akhirnya aku bisa pulang. Bukannya aku tidak menikmati acara mereka, tapi masalahnya besok adalah hari kerja. Nggak lucu kan kalau sampai ngantuk di kantor. Namun dugaanku meleset. Dari tempat karaoke acara berlanjut di rumah Tante Irene. Aku setengah mati mencari alasan untuk menolak, namun bujukan dan rayuan kelima wanita itu membuatku tak kuasa menolaknya. Singkat cerita aku pun “terjebak”, dalam Peugeot 207 Tante Lisbeth menuju rumah Tante Irene di daerah Muara Karang. Aku nggak tau acara apa lagi yang akan digelar. Paling aku bengong melihat mereka mabuk lagi.
Sampai di rumah Tante Irene, kami langsung diajak ke living room yang cukup besar. Di living room itu ada satu set home theater yang di temani bantal-bantal berukuran besar. Kelima wanita yang sudah setengah mabuk itu dengan enaknya duduk dan tiduran di living room itu.
“Ren, masih pengen goyang nih..”, seru Tante Yola.
“Sabar dong Bu, ini juga lagi disiapin..”, jawab Tante Irene sambil mempersiapkan sesuatu dengan DVD-nya.
Dan lagi-lagi sajian yang tadi kulihat di tempat karaoke terulang lagi. Rentetan videoklip dengan aneka adegan seks diiringi musik-musik disco yang menghentak. Bagai kena sihir kelima wanita yang sudah setengah mabuk dan kupikir sudah kehabisan tenaga itu kembali “on”, dan asyik bergoyang erotis tak karuan.
Setelah puas bergoyang, mereka kembali tergeletak di lantai berlapis karpet tebal itu. Tiba-tiba Tante Irene bergegas ke arah dapur. Tak lama kemudian wanita itu kembali ke living room, lagi-lagi dengan botol-botol minuman beralkohol. Keempat sahabatnya dengan buas langsung menyambar botol-botol minuman itu seperti serigala kelaparan. Lagi-lagi aku geleng-geleng melihat mereka yang minum air-air api itu seperti minum air putih saja. Lama-lama aku bete juga meski pada awalnya aku senang karena bisa menikmati tarian erotis mereka.
“Hello ladies.. mau ngapain lagi nih, aku bosen..”, seruku tiba-tiba.
“Iya nih.. ngapain ya yang asyik..”, timpal Tante Lisbeth.
“Aha.. gue tau, main truth or dare aja yuk..”, usul Tante Yola.
Keempat wanita yang lain langsung bersorak ribut tanda setuju. Jantungku tiba-tiba berdebar. Aku belum pernah main truth or dare sebelumnya.
“Oke.. oke.. bentar ya..”, seru Tante Irene sambil berjalan ke arah kamarnya.
Tak lama wanita cantik itu keluar dengan membawa satu Pak kartu remi. Dengan jujur aku bilang pada mereka bahwa aku belum pernah main truth or dare. Mereka tertawa terbahak-bahak seolah mencibir aku.
“Sini Yo, aku ajarin..”, kata Tante Yola.
Tante Yola pun menjelaskan. Ternyata seperti permainan lucky draw. Dalam satu Pak kartu itu ada 2 joker. Joker hitam putih berarti kartu “truth”, dan joker berwarna berarti kartu “dare”. Kartu-kartu itu dibagikan ke semua pemain dengan jumlah tertentu. Jika ada pemain yang mendapatkan kartu “truth”, maka dia harus menceritakan salah satu pengalaman seksnya dengan detil. Dan jika si pemain mendapat kartu “dare”, maka dia harus bersedia melepas salah satu atribut yang melekat di tubuhnya, bisa pakaian atau aksesoris. Itu permainan truth or dare versi Tante Yola. Aku tidak tau apakah sama dengan permainan truth or dare pada umumnya.
Permainan pun dimulai. Kami berenam duduk membentuk lingkaran. Kelima wanita itu ditemani botol-botol minumannya, hanya aku saja yang ditemani segelas orange juice. Tante Yola yang pertama kali mengocok kartu membagikan kepada kami. Aku melihat kartu-kartu yang dibagikan kepadaku. Jantungku semakin berdebar. Kami semua mengangkat kartu dan memeriksanya. Semuanya senyum-senyum sendiri.
“Oke, buka!” seru Tante Yola.
Kami pun langsung meletakkan kartu di atas lantai dalam keadaan terbuka. Tante Yola memeriksa kartu-kartu kami. Ternyata tidak ada satupun yang mendapat kartu “truth”, atau kartu “dare”. Permainan diulang lagi. Kartu dikocok dan dibagikan.
“Oh.. shit..!” tiba-tiba Tante Shinta berteriak. Kami pun mulai tertawa-tawa.
“Oke buka!” seru Tante Yola lagi.
Dan betul, Tante Shinta kebagian mendapat kartu “dare”. Artinya wanita itu harus melepas salah satu atribut yang melekat di tubuhnya. Dan karena satu-satunya pakaian luar yang dikenakan adalah gaun terusan, aku pikir wanita itu akan melepas gaunnya atau perhiasan yang melingkari bagian-bagian tubuhnya. Namun dalam keadaan mabuk rasanya mustahil kalau Tante Shinta hanya berani melepas perhiasannya.
Dugaanku meleset! Tante Shinta tidak melepas gaun terusannya, dan tidak juga perhiasannya. Lebih gila dari yang kuduga, wanita itu langsung melepas celana dalamnya yang dapat dicopotnya dengan mudah dari bawah terusannya.
“Woowww..”, keempat wanita yang lain bersorak dan bertepuk tangan.
Aku pun ikut bertepuk tangan. Permainan pun berlanjut. Karena memegang kartu “dare”, otomatis Tante Shinta juga yang mengocok kartunya. Putaran kedua, Tante Yola mendapat kartu “truth”, dan Tante Irene mendapat kartu “dare”. Tante Yola pun bercerita tentang perselingkuhannya dengan salah seorang eksekutif muda yang dikenalnya di kafe. Ternyata Tante Yola pandai sekali bercerita dengan detil. Kami sampai horny mendengarnya. Setelah selesai bercerita, giliran Tante Irene yang harus melepas atributnya. Wanita itu melepas stocking semi transparan yang sejak tadi membungkus kakinya. Gila, ternyata kakinya lebih putih dari yang kulihat. Aku tak menyangka kalau tadi Tante Irene mengenakan stocking, karena kulihat paha Tante Irene sudah putih.
Putaran berikut hanya keluar kartu “truth”. Tante Rissa yang mendapat kartu tersebut malah bercerita saat berselingkuh dengan aku. Lucu sekali, keempat sahabatnya mendengar cerita Tante Rissa sambil sesekali senyum-senyum dan melirik ke arahku. Berikutnya aku mendapat kartu “dare”, dan Tante Shinta mendapat kartu “truth”. Tante Shinta pun bercerita tentang pengalaman selingkuhnya dengan kakak iparnya yang masih keturunan Pakistan asli. Selesai tante Shinta bercerita, aku pun tanpa beban melepas kemeja yang melekat di tubuhku diiringi sorakan kelima wanita itu. Selanjutnya Tante Yola mendapat kartu “dare”. Wanita itu melepas celana suteranya hingga terlihat kakinya yang hitam legam, namun mulus.
Permainan bergulir terus. Satu persatu pakaian-pakaian yang melekat di tubuh kami mulai terlepas. Dan aku heran kenapa tak satupun dari mereka yang melepas perhiasannya. Mereka lebih rela melepas pakaiannya ketimbang mencopot gelang emasnya.
Tante Lisbeth yang lebih dulu tampil tanpa sehelai benang pun. Birahiku semakin naik ketika menyaksikan wanita bertubuh putih mulus itu melepas celana dalamnya yang menjadi pembungkus tubuhnya yang terakhir. Gila, betul-betul mulus. Meskipun terlihat sedikit lemak di beberapa bagian namun secara keseluruhan betul-betul membuat gairahku naik.
Orang kedua yang “terpaksa”, tampil bugil adalah Tante Shinta. Wanita ini sedikit aneh karena sejak awal malah melepas pakaian dalamnya lebih dulu. Sehingga begitu wanita ini melepas gaun terusannya, tubuh mulusnya langsung terlihat jelas. Dan aku terkejut sekali melihat sesuatu yang berkilat di tengah-tengah kemaluannya yang hanya berbulu sedikit itu. Ooppss.. ternyata Tante Shinta memasang anting di bibir kemaluannya. Berikutnya yang jadi korban adalah Tante Yola. Baru kali ini aku melihat wanita berkulit hitam legam dalam keadaan telanjang bulat di depan mataku. Ternyata sexy juga. Apalagi tubuh Tante Yola sangat mulus dan terawat.
Permainan selesai ketika Tante Shinta tidak memiliki apa-apa lagi untuk dilepas. Aksesoris yang melekat di tubuh bugilnya satu persatu pun lepas. Permainan pun selesai.
“Asyiikk.. aku yang menang..”, seru Tante Rissa kegirangan.
Di akhir permainan hanya wanita itu yang masih berpakaian cukup “lengkap”. Bra, celana dalam dan stocking hitam masih melekat di tubuhnya yang putih mulus. Aku sendiri hanya menyisakan selembar celana dalam. Tante Irene juga hanya bercelana dalam saja, sementara payudaranya yang masih bulat dan montok itu terayun-ayun sejak tadi.
“Uuuhh.. dasar, curang ah.. curang..”, seru Tante Shinta sambil merajuk.
“Iya nih nggak adil, ayo buka semuanya..”, timpal Tante Lisbeth.
Tiba-tiba ketiga wanita yang sudah bugil itu menghampiri Tante Rissa.
“Ehh.. ehh.. apa-apaan nih, curang ah..”, seru Tante Rissa. Wanita itu kelabakan ketika Tante Lisbeth, Tante Shinta dan Tante Yola mengepung dan menelanjanginya. Aku dan Tante Irene tertawa menyaksikan pemandangan itu. Tante Rissa sampai merangkak-rangkak menghindari Tante Lisbeth yang bernafsu menangkapnya. Tante Yola yang mendekapnya dari belakang dengan mudah melepas bra yang menutup payudara Tante Rissa. Sementara Tante Shinta berusaha menarik celana dalam yang melingkari selangkangan Tante Rissa.
Akhirnya wanita itu tak kuasa menahan “amukan”, ketiga sahabatnya. Dalam waktu singkat, kondisinya pun tak jauh beda dengan ketiga temannya yang lebih dulu bugil. Aku dan Tante Irene sampai sakit perut karena tertawa terpingkal-pingkal.
“Eit.. jangan seneng dulu, sekarang giliran kalian..”, seruan Tante Lisbeth tiba-tiba menghentikan tawaku dan Tante Irene. Kami berdua saling berpandangan.
“Kabur..!” seruku.
Kemudian kami berdua pun berlari berpencar. Tante Irene masuk ke dalam kamarnya dan aku lari ke ruang tamu. Tante Rissa dan Tante Yola mengejar tante Irene ke dalam kamar, sedangkan Tante Lisbeth dan Tante Shinta mengejarku ke ruang tamu.
Setelah berkali-kali muter-muter di meja tamu, akhirnya aku pasrah di salah satu sudut sofa. Setengah meronta, aku merelakan Tante Shinta meloroti celana dalamku, sementara Tante Lisbeth memegangin kedua tanganku. Aku pun mendengara suara teriakan-teriakan yang seru dari dalam kamar Tante Irene.
Tante Shinta dan Tante Lisbeth lantas menggeretku ke dalam kamar Tante Irene. Di dalam aku melihat tubuh molek Tante Irene yang tergeletak pasrah di atas ranjang dengan kedua tangannya dipegangi Tante Rissa dan Tante Yola. Tante Shinta dan Tante Lisbeth lantas menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Mereka tertawa-tawa.
“Nah kalo gini kan adil hihihihi..”, seru Tante Lisbeth.
Aku tak ingat siapa yang memulai yang jelas detik berikutnya canda tawa itu berubah menjadi ajang pesta orgy di antara kami.
Tante Shinta memeluk tubuhku yang tergeletak di ranjang. Kemudian dengan penuh nafsu wanita itu langsung melumat bibirku tanpa kompromi. Sementara di bawah sana aku merasakan basahnya lidah Tante Lisbeth dan Tante Irene yang asyik menjilati batang penisku yang sudah tegang sejak tadi. Ugghh.. nikmat sekali.
Sambil berciuman, aku melirik Tante Rissa dan Tante Yola yang asyik berduaan. Tante Rissa yang bersandar di ranjang membiarkan kemaluannya dilumat Tante Yola. Aku melihat pemandangan itu dengan penuh nafsu. Sementara Tante Shinta sudah asyik menjilati leher, telinga dan dadaku. Nafsu yang semakin memuncak menuntunku untuk meraih tangan Tante Rissa yang mulus itu. Aku jilati jemarinya yang lentik. Tante Rissa yang mengetahui hal itu langsung membalikkan tubuhnya ke arahku dan kami pun asyik berciuman.
“Mmmhh.. ssllpp.. mmhh.. nggak nyesel kan ikutan sama kita-kita hihihi.. mm..”, seru Tante Rissa di sela-sela lumatan bibirnya.
Aku hanya bisa mengangguk. Kulihat Tante Yola masih asyik menjelajahi daerah sensitif Tante Rissa.
Tiba-tiba Tante Irene meninggalkan Tante Lisbeth yang sedang asyik melumat penisku. Kulirik wanita itu keluar kamar. Tak lama kemudian Tante Irene kembali dengan beberapa sex toy. Keempat wanita yang sedang asyik orgy denganku tiba-tiba beralih perhatian kepada Tante Irene.
“Hei.. hei.. liat nih aku bawa apa..”, seru Tante Irene.
Keempat sahabatnya menyambut dengan penuh nafsu.
“Aahh.. ini dia yang ditunggu-tunggu..”, mereka bersorak ribut sekali.
Tante Irene langsung menghamparkan alat-alat itu di atas ranjang. Aku melihat ada beberapa vibrator dengan berbagai bentuk, berikut dengan cairan pelicinnya. Ada juga alat yang baru kali ini aku lihat. Seutas tali yang panjangnya kira-kira setengah meter, dan di sepanjang tali itu ada beberapa bola kecil dari bahan gel padat tersusun dengan jarak yang sama. Ada yang bolanya sebesar kelereng, dan ada juga yang bolanya sebesar bola golf. Di ujung tali ada kotak seukuran pemantik api dengan beberapa tombol kecil. Aku sama sekali tidak mengerti apa gunanya.
Kelima wanita itu berebutan memilih alat yang mereka suka. Tante Rissa mengambil sebuah vibrator dengan warna pink transparan. Panjangnya kira-kira 20 centimeter. Lentur sekali sehingga bisa melenting ke segala arah. Kemudian dengan gaya yang erotis dan dibuat-buat, Tante Rissa mengambil sebotol cairan pelicin dan meneteskannya ke ujung vibrator itu. Terlihat cairan itu menjalar ke beberapa bagian vibrator.
“Heii.. who wants to be the first..”, serunya kepada keempat sahabatnya.
Tante Irene yang paling antusias.
“Aahh.. aku dulu dong..”, seru Tante Irene.
Wanita itu lantas merebahkan tubuh mulusnya di atas ranjang dengan posisi telentang, sementara kedua kakinya yang putih dibukanya lebah-lebar. Sambil tersenyum Tante Rissa menghampiri vagina Tante Irene yang hanya ditumbuhi sedikit bulu itu.
“Hmm.. vibratornya sih udah licin, tapi pasti lebih asyik kalo pake pelicin yang alami.. mmhh.. ssllpp..”, Tante Rissa langsung menjilati vagina Tante Irene dengan buas.
Yang dijilat spontan terkejut. Tubuhnya mulai menggelinjang menahan rasa nikmat.
Tante Yola yang berada tak jauh dari Tante Irene mengambil sehelai bulu angsa, kemudian digelitiknya tubuh Tante Irene dengan bulu itu. Tentu saja Tante Irene semakin kelojotan.
“Ssshh.. aahh.. oohh kamu gila ya La.. sshh..”, bibir sexynya tak henti-henti mengerang menahan nikmat.
Tante Yola yang melihat bibir Tante Irene terbuka langsung melumatnya dengan bibirnya yang masih tersapu lipstik warna gelap itu. Uhh.. betul-betul pemandangan yang membuat urat nafsuku semakin naik.
Tiba-tiba Tante Shinta mengambil seutas tali yang diselingi butiran-butiran yang kulihat tadi. Aku jadi penasaran, gimana sih menggunakan alat yang ini. Tante Shinta kemudian mengangkat sebelah kaki Tante Yola. Wanita berkulit hitam itu melirik sebentar dan tersenyum.
“Oowww.. not that toy again Shin..”, serunya manja.
Tante Shinta tak peduli. Dibasahinya tali berbutir itu dengan cairan pelicin, kemudian satu demi satu Tante Shinta memasukkan butiran-butiran sebesar bola golf itu ke dalam vagina Tante Yola.
“Ughh..”, desah Tante Yola setiap kali butiran itu dimasukkan ke dalam vaginanya.
Setelah seluruh butiran yang berbaris di tali itu masuk ke dalam vagina Tante Yola, Tante Shinta mulai memainkan tombol-tombol yang ada di ujungnya.
“Aaahh.. Shintaa.. sshh..”, tiba-tiba Tante Yola menggelinjang cukup hebat.
Keempat sahabatnya cekikikan melihat reaksinya, termasuk Tante Irene yang sedang dioral oleh Tante Rissa. Aku baru mengerti cara kerja alat itu. Tante Shinta tampak asyik sekali ngejain Tante Yola. Aku pun mulai tak tahan untuk ikut bergabung. Tante Shinta yang asyik ngerjain Tante Yola tampaknya agak “lengah”, dengan tubuhnya. Dengan birahi yang sudah ke ubun-ubun, aku langsung memeluk kedua belah paha Tante Shinta yang mulus, dan langsung menyambar vagina yang masih rapat itu dengan lidahku.
Tante Shinta hanya menengok sejenak dan mengusap-usap kepalaku sambil tersenyum. Kemudian wanita itu asyik lagi dengan permainannya. Aku semakin bernafsu melumat vagina Tante Shinta yang kenyal itu. Ughh.. betul-betul nikmat. Sementara Tante Lisbeth yang sedari tadi berada di dekatku mulai merayapi pahaku. Ahh.. lembut sekali kulitnya. Aku bisa merasakannya di sekujur kakiku. Hingga akhirnya wanita keturunan Chinese itu menggenggam batang penisku yang sudah sejak tadi tegang. Dijilatinya buah pelirku. Hmm.. lidah Tante Lisbeth betul-betul lihay.
Sesekali kulirik Tante Yola yang kelojotan setiap kali butiran sebesar bola golf itu dikeluarkan dari liang kewanitaannya. Atau wajah Tante Irene yang tak henti-hentinya mengerang menahan rasa nikmat yang luar biasa. Kelihatannya Tante Rissa lihai sekali memainkan vibrator tersebut. Kulihat daerah selangkangan Tante Irene sudah banjir oleh air kewanitaannya. Kami betul-betul bercampur tanpa batas. Dan satu-satunya yang sadar di ruangan itu hanya aku, sisanya sudah mabuk oleh minuman-minuman yang mereka tegak sejak tadi. Aku tidak bisa bercerita dengan detil di sini karena betul-betul banyak hal dan variasi yang kami lakukan. Mungkin aku hanya bisa cerita hal-hal yang kuingat dengan jelas. Seperti misalnya ketika kedua tangan Tante Rissa dipegangi oleh Tante Yola dan Tante Irene, sementara Tante Shinta dan Tante Lisbeth asyik ngerjain wanita cantik itu dengan tali-tali berbutirnya. Tante Shinta memegang tali berbutir yang butirannya sebesar bola golf, sementara Tante Lisbeth memegang tali berbutir yang lebih kecil. Aku sendiri dengan liar menjilati setiap jengkal tubuh Tante Rissa. Desahan dan erangan tak henti-hentinya keluar dari bibir wanita itu.
Seperti yang dilakukan pada Tante Yola tadi, Tante Shinta memasukkan satu demi satu butiran-butiran sebesar bola golf itu ke dalam vagina Tante Rissa dan kemudian menyalakan penggetarnya. Pada saat yang sama juga Tante Lisbeth memasukkan butiran-butiran yang hanya sebesar kelereng itu ke dalam lubang pantat Tante Lisbeth, dan kemudian menggetarkannya. Uhh.. aku tidak bisa membayangkan rasa nikmat yang dialami Tante Rissa. Pasti asyik sekali. Tubuhnya betul-betul menggelinjang, aku saja sampai kerepotan menjilatinya.
“Aaakhh.. pada gila ya.. oohh stop.. please.. stop.. cukup.. uugghh..”, Tante Rissa terus mengerang keasyikan, namun kami tidak perduli. Dan kulihat vagina Tante Rissa betul-betul membanjir.
“Uuuhh.. banjiirr boo”" seru kelima wanita itu.
Mereka bersorak ribut sekali. Pada saat itu aku sendiri juga tidak merasa sebagai laki-laki yang melayani nafsu seks lima wanita itu. Entah kenapa aku juga merasa menjadi bagian dari mereka, seolah-olah aku wanita yang ikut dalam pesta lesbian.
Tante Rissa betul-betul lemas. Entah berapa banyak cairan yang keluar dari vaginanya. Yang aku ingat keempat sahabatnya dan aku betul-betul liar menjilati cairan yang terus menerus keluar dari vagina Tante Rissa. Bahkan kami sampai bertukar-tukar, seperti misalnya aku sudah mengulum cairan yang kujilati dari vagina Tante Rissa, kemudian aku membagikannya ke dalam mulut Tante Irene lewat mulutku. Demikian juga yang lain. Betul-betul gila.
Ternyata yang “dipelonco”, bukan hanya Tante Rissa. Kesempatan berikutnya giliran Tante Yola yang diperlakukan sama. Dan gilanya Tante Rissa setelah lemas dipelonco tadi seperti tidak ada apa-apa saja. Wanita itu kembali bernafsu ikut ngerjain Tante Yola. Uhh.. wanita berkulit hitam itu betul-betul meronta seperti kesetanan. Apalagi ketika tali berbutir digetarkan di dalam vaginanya. Ranjang Tante Irene sampai goyang-goyang tak karuan.
Berikutnya giliran Tante Lisbeth. Wanita yang pada awalnya terlihat sok cool ini akhirnya tak kuasa juga melepas rasa nikmatnya dengan menjerit keras-keras. Selama mengikuti permainan mereka sejak tadi entah kenapa aku sama sekali tidak berhasrat memasukkan penisku ke dalam vagina salah satu dari mereka. Bahkan untuk melakukan masturbasi di depan mereka juga tidak. Aku seperti hanyut dalam permainan.
Kemudian pada saat giliran Tante Shinta, wanita-wanita itu seperti mendendam. Tante Shinta yang dikerjain paling lama dan semua alat digunakan kepada wanita itu. Dimulai dengan vibrator biasa, kemudian tali berbutir, dan lain-lain sampai terakhir vibrator elektrik. Vagina Tante Shinta betul-betul banjir. Huh.. baru kali ini aku melihat wanita-wanita mengalami multi orgasme sampai separah itu.
Berikutnya giliran Tante Irene. Wanita ini mendapat perlakuan spesial sebagai hadiah ulang tahunnya. Tidak hanya dikerjain seperti nasib sahabat-sahabatnya, tapi Tante Irene juga melakukan “persetubuhan”, dengan keempat wanita yang lain. Aku pikir inilah saatnya aku menikmati permainan yang sesungguhnya.
Dimulai dari Tante Yola yang mengenakan celana dalam yang di bagian depannya ada vibratornya. Kami duduk mengelilingi Tante Yola dan Tante Irene yang “bersetubuh”, seperti pasangan normal saja. Berikutnya gantian Tante Shinta, Tante Lisbeth dan Tante Rissa. Akhirnya tiba juga giliranku untuk menikmati hangatnya vagina. Sambil berdiri dengan lutut, aku bersiap memasukkan batang penisku yang sudah keras itu ke dalam vagina Tante Irene.
Tiba-tiba dari arah belakang Tante Rissa menarik tubuhku sebelum aku sempat memasukkan batang penisku ke vagina Tante Irene.
“Ehh.. kenapa Tante..”, seruku.
Tante Rissa tertawa nakal diiringi cekikikan wanita yang lain. Tiba-tiba dengan sigap kelima wanita itu mengepungku dan dalam waktu singkat aku sudah terpasung di atas ranjang dengan kedua tangan dan kaki yang terikat. Oh.. gila, apalagi ini.
Kemudian Tante Irene menghampiriku.
“Kayaknya kamu perlu ini deh sayang biar kamu bisa ngimbangin kita-kita.. hihihi.. mmhh..”, Tante Irene tiba-tiba mencium bibirku dan aku merasakan wanita itu memindahkan beberapa butir pil dari dalam mulutnya ke mulutku.
Mau tak mau aku menelan pil yang aku tidak tau pil apa itu.
“Apa nih Tante?” seruku setelah pil yang kira-kira berjumlah lima butir itu kutelan. Tante Irene tersenyum.
“Obat kuat hihihi..”, jawabnya.
“Eh siapa duluan nih?” seru Tante Rissa tiba-tiba.
“Kasi yang ultah aja dulu, kan Rio udah minum itu, pasti staminanya gak turun deh hihihi..”, celetuk Tante Lisbeth.
Keempat sahabatnya setuju. Kelihatannya Kelima wanita itu ingin menggilir penisku bergantian. Ughh.. aku sedikit nggak pede, apa iya aku mampu. Sekarang aja rasanya udah mau orgasme sejak bergumul dengan mereka tadi. Tapi mungkin pil yang disuapkan Tante Irene tadi bisa membantu.
Tante Irene kemudian mulai menjilati batang penisku yang sudah keras. Mungkin ukurannya sudah mencapai maksimal Urat-uratnya sudah mulai kelihatan. Sebetulnya penisku berukuran biasa saja. Entah kenapa mata Tante Irene betul-betul bernafsu sekali melihatnya. Lidahnya lincah sekali menjelajahi penis dan selangkanganku. Keempat wanita yang lain duduk mengelilingi sambil bersorak.
Setelah puas menjilati dan mengulum penisku, kemudian wanita itu mulai jongkok di atas tubuhku. Digenggamnya batang penisku dan perlahan-lahan tubuhnya mulai turun. Ughh.. aku merasakan nikmat ketika ujung penisku menyentuh bibir vagina Tante Irene. Sedikit demi sedikit dan akhirnya.. bless.. penisku pun amblas ke dalam vagina Tante Irene. Wanita itu memutar-mutar pinggulnya. Alamak.. nikmatnya luar biasa. Seharusnya penisku sudah memuntahkan sperma sejak Tante Irene memasukkan vaginanya tadi, namun entah kenapa spermaku tak kunjung keluar. Padahal penisku sudah berdenyut-denyut. Hampir dua puluh menit Tante Irene menggoyangkan pinggul, pinggang dan pantatnya. Dengan posisi duduk, tiduran, hingga akhirnya aku mulai merasa spermaku ingin keluar.
“Ssshh.. aahh Tante.. udah mau keluar nih..”, seruku di tengah-tengah desahan menahan rasa nikmat.
Tante Irene tersenyum manja. Wanita itu sudah sejak tadi orgasme berkali-kali di atas tubuhku.
“Ya udah, bareng ya.. sshh..”, aku betul-betul memuncak. Sebentar lagi aku merasa akan meledak.
Tiba-tiba Tante Lisbeth menghampiri kami dan berjongkok di belakang tubuh Tante Irene yang sedang naik turun. Aku nggak tau apa yang diperbuatnya. Sekilas kulihat Tante Irene tersenyum dan Tante Lisbeth memeluknya dari belakang. Kulihat payudara Tante Irene yang montok itu diremas-remas. Ahh.. pemandangan itu semakin membuat nafsuku naik.
“Riioo.. I”m cumming.. sshh.. oohh..”, Tante Irene pun mencapai orgasme untuk kesekian kali. Dan cairan kewanitaan yang membanjiri penisku pun memacu spermaku untuk keluar.
“Aahh.. Croott.. crroott.. croott.. ups!”
Belum selesai penisku memuntahkan seluruh sperma, tiba-tiba Tante Irene mencabut penisku dari vaginanya, lantas wanita itu berguling ke samping. Tanpa kuduga Tante Lisbeth yang tadi berada di belakang Tante Irene langsung maju dan menindihku sehingga penisku langsung amblas dalam sekejap ke dalam liang vaginanya. Croott.. croott.. penisku masih memuntahkan sperma sisa permainanku dengan Tante Irene.
Gila, variasi apalagi ini! Bagai Tanpa peduli Tante Lisbeth melanjutkan permainan. Wanita itu memutar pinggang dan pinggulnya kesana kemari. Ugghh.. satu hal yang bikin aku heran penisku masih bertahan. Meskipun sperma sudah tidak keluar lagi tapi tidak langsung lemas seperti biasanya. Dan birahiku pun semakin terbakar melihat tubuh putih mulus yang bergoyang di atas tubuhku.
Kurang lebih tiga puluh menit kemudian penisku kembali berdenyut ingin memuntahkan sperma. Dan sudah sejak lima menit yang lalu di belakang Tante Lisbeth ada Tante Yola yang bersiap untuk giliran berikutnya. Aku sengaja tidak bilang supaya Tante Lisbeth tidak buru-buru pergi, karena dari kelima wanita itu Tante Lisbethlah yang paling aku suka. Tanpa kuduga Tante Lisbeth sudah bisa menebak gejalaku. Baru semprotan sperma yang pertama wanita Chinese itu langsung mencabut tubuhnya dan berguling ke samping. Dengan penuh nafsu Tante Yola langsung menggantikan Tante Lisbeth.
Aku cukup lama melayani Tante Yola karena aku kurang begitu bergairah dengannya. Hampir satu jam penisku baru mulai berdenyut tanda sperma akan keluar. Dan di belakang Tante Yola, Tante Rissa sudah bersiap untuk memacu birahi denganku.
Crott.. Croott.. Dua semprotan awal menyudahi permainanku dengan Tante Yola, dan Tante Rissa pun menggantikan untuk menikmati sisa spermaku. Tante Rissa masih seperti dulu, lihai sekali merangsang bagian-bagian sensitifku. Sambil tubuhnya bergoyang, jemari lentiknya aktif menjelajahi tubuhku.
Menjelang menit ke tiga puluh dengan Tante Rissa, Tante Shinta naik ke atas tubuhku tapi tidak di belakang Tante Rissa, melainkan di depannya. Jadi posisi mereka berhadapan. Aku tak tau apa yang dilakukannya. Aku hanya mendengar suara berciuman yang penuh nafsu.
“Crott.. Croott.. Crroott.. Croott..”
Tante Rissa kebablasan. Setelah semburan keempat wanita itu baru mengangkat tubuhnya. Itu karena Tante Shinta yang asyik menggodanya. Tante Shinta dengan sigap langsung memasukkan penisku yang masih menyemprot itu ke dalam vaginanya. Posisinya berbeda dengan yang lain, jadi tubuh wanita itu membelakangiku. Ughh.. enak sih, tapi aku ingin melihat wajah Tante Shinta yang cantik.
Tanpa kuduga wanita itu memutar tubuhnya. Aahh.. dinding vaginanya serasa memutar penisku. Kemudian wanita itu sudah berada dalam posisi menghadapku. Ternyata Tante Shinta tidak menggoyangkan tubuhnya. Penisku dibiarkan beristirahat di dalam vaginanya yang hangat. Sementara wanita itu menari-nari dengan erotis di atas tubuhku.
“Ehmm.. wah bakal ada gempa nih kayaknya..”, celetuk Tante Lisbeth.
Aku tidak mengerti apa maksudnya. Tiba-tiba detik berikutnya aku merasakan ada sesuatu yang menyedot penisku. Gila..! Aku belum pernah merasakan sedotan yang begini hebat dari dalam vagina. Ugghh.. tubuhku menggelinjang menahan rasa nikmat. Kulihat Tante Shinta masih tetap menari dengan tenang.
“Gila kamu Shin.. jail banget sih.. hihihi..”, celetuk yang lain.
Ooohh.. aku betul-betul merasakan sensasi yang luar biasa. Tubuhku rasanya ingin orgasme tapi nggak sampai-sampai. Betul-betul kenikmatan panjang dan melelahkan.
Hampir satu jam kemudian, keempat wanita yang lain mulai mendekati tubuhku. Mereka berkeliling dan jemari mereka mulai menjelajahi tubuhku dan tubuh Tante Shinta. Aahh gila.. betul-betul sensasional. Akhirnya penisku pun berdenyut tanda ingin orgasme.
“O-ow.. udah waktunya nih..”, seru Tante Shinta.
Gila, wanita itu bisa tau. Tiba-tiba dinding vagina Tante Shinta semakin kencang berdenyut. Sedotan pun semakin kuat. Aahh.. aku nggak tahan lagi dan.., “Croott..!”.
Tante Shinta langsung mengangkat tubuhnya dan dengan cepat berganti posisi berbaur dengan keempat sahabatnya. Kelima wanita itu bersorak melihat penisku yang memuntahkan sperma secara gila-gilaan. Lidah mereka berebutan menangkap cipratan-cipratan sperma yang keluar dari penisku. Ughh.. Mereka juga menjilati sperma yang berceceran di sekitar selangkanganku.
Tanpa terasa malam sudah hampir berganti pagi. Tubuhku tergeletak di antara tubuh-tubuh mulus yang kelelahan seperti aku. Rasanya capek sekali. Satu-persatu mereka tertidur tanpa sempat mandi. Hanya aku yang tidak bisa tidur, mungkin karena pengaruh obat tadi.
Aku melihat ke sekeliling. Tiba-tiba aku stress memikirkan bagaimana di kantor nanti pagi. Pasti ngantuk sekali. Aku langsung menelpon Blue Bird untuk minta dikirim taksi. Setelah itu aku memberanikan diri membangunkan Tante Rissa untuk pamit. Sulit sekali membangunkan wanita mabuk yang sudah tertidur. Akhirnya setengah sadar Tante Rissa bangun.
“Aku pulang dulu Tante..”, ujarku.
Tante Rissa tidak langsung menjawab. Seperti sedang mengumpulkan nyawa.
“Kok pulang sayang? Tidur di sini aja..”, jawab Tante Rissa. Aku tersenyum.
“Nggak bisa Tante, nanti pagi aku mesti ke kantor. Ini aja aku pengen tidur sebentar di rumah..”, jelasku.
Tante Rissa hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Oke, hati-hati ya..”, jawabnya sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum.
Sedikit geli juga melihat bibir Tante Rissa yang dimonyongin tanda memintaku untuk menciumnya.
“Mmmuuachh..”, aku mencium bibir lembutnya dengan mesra. Tak ada lagi rasa nafsu.
“Makasih yang udah ikutan party kita..”, kata Tante Rissa seraya merengkuh kepalaku.
“Iya, makasih juga buat acaranya Tante, gila.. tambah pengalaman lagi nih hihihi..”, Tante Rissa tertawa mendengar jawabanku.
Wanita itu lantas mengantarku sampai ke depan pagar.
“Tante nggak antar dulu ya Yo, lemes nih.. kamu sih hihihi..”, bisik Tante Rissa. Aku tersenyum.
“Iya nggak pa-pa Tante, aku udah pesan taksi.” jawabku.
Tak lama kemudian taksi datang. Dan aku pun meningkalkan rumah kenikmatan itu setelah mengecup bibir Tante Rissa sekali lagi. Hhh.. akhirnya aku pun tertidur di taksi.
nikmatnya cewek sakaw
Aku nana,ce, ciri –ciri ku 165/50 34b kebetulan aku kuliah di salah satu PTN di J,
Aku memliki kelainan seksual yaitu aku menjadi horny atau aku bisa mancapai kepuasan apabila aku melakukan aktifitas seksualku di lihat banyak orang atau memamerkan tubuh molek indah ku ini.
ceritaku dimulai sewaktu aku dan 4 kawan berlibur ke villa di tepi pantai. temanku itu 4 cowok yang bernama alfred,Rey,Rico dan daved. Dan aku cewek sendiri. cerita sex terlengkap dan terbaru hanya ada di pusat cerita sex di sexceritadewasa.com.
Singkat cerita kita berangkat ke vlla itu dengan mobil daved
Sesampai di villa itu kita disambut oleh penjaga villa daved lalu penjaga pun pergi dan meninggal kan kita berlima di villa tersebut.
Setelah kita keliling melihat indahnya pemmandangan pantai dan melihat sekeliling villa, disana terdapat kolamrenang dan lapangan tennis Sedangkan tembok villa tersebut cukup tinggi dan rapat sehingga orang luar tidak dapat melihat keadaan didalam villa ini
Kita berlima masuk kedalam villa dan duduk bersama di ruang tamu sambil ,mengobrol dan nonton acara tv.
Selagi kita ngobrol Rey memberi saran gimana kalo kita tidak hanya ngobrol dan nonton kita main poker aja,akhirnya kamipun menyetujui.
Permainan kita buka dengan tidak memakai taruhan .Selang beberapa game daved membuka pembicaraan,
“ gimana kalau putaran berikutnya kita pake taruhan?
“lalu taruhanya apa?” sahut ku
“Orang yang memiliki kartu paling kecil harus menjadi budak dan harus menuruti semua permintaan dari orang yang memiliki kartu tertinggi dari dia.” Kata daved memberikan syarat permainan.Akhirnya semua menyetujuinya.
Setelah kartu di bagi dan ternyata aku yang memiliki kartu yang paling kecil yaitu hanya punya pair kecil, sedang kan mereka berempat daved punya there of kind alfred pair as Rico pair 10 dan Rey memiliki double pair king.
Sesuai kesepakan akhirnya mereka berempat menjadi bos dan aku sendiri menjadi bawahan . Tugas pertama yang aku terima akhirnya mereka menyuruh aku untuk melepas bajuku sampai bugil dan selama berada di villa aku harus telanjang tanpa sehelai benangpun yang menempel di tubuh mulusku ini..
Setelah itu daved dan Rey mengangkat Tubuhku dan meletakkannya di atas meja makan.
di meja makan itu aku diikat terlentang seperti huruf X . kemudian alfred dan Rico mengambil pisau cukur dan mereka pun bergantian mencukur bulu halus kemaluan ku.
setelah licin dan bersih benar mereka ,mulailah menikmati rasa legit kemaluanku dengan menghisap dan menjilatinya penuh nafsu.
Kemudian ada yang meremas susuku dan minta di emut penisnya sama aku .
Tak berapa lama kemudian aku sendiri mengalami orgasme dan diikuti sperma merekapun saling muncrat tumpah di tubuhku.
kemudian mereka berempat menyuruh aku untuk menceburkan diri di kolam renang. Selagi aku berenang bugil,mereka hanya melihatku dari atas kolam dan daved merekam semua gerak gerik dan kemolekanku itu menggunakan handycamnya
Setelah aku selesai berenang ,kami berlima menikmati makan di ruang makan kembali.Mereka berempat telah rapi berpakaian
bedanya hanya aku sendiri yang bugil tanpa selembar kainpun yang menutupi
Dan saat itu aku duduk berhadapan dengan mereka posikaki kiri dan kanan ku di ikat dengan kaki kursi yang mengakibatkan posisi duduk ku terbuka mengangkang. Memperlihatkan kemaluanku yang gundul kemerahan
Setelah selesai makan Rey memberikan saran
”gimana kalau malam ini kita pergi ke diskotik,”
Setelah Rey berkata itu semua pada setuju. Daved menyuruhkuku untuk hanya memakai baju tang top dan rok mini tanpa boleh mengenakan daleman , ini karena aku masih kalah taruhan dan masa hukuman ku baru selesai besok pagi sesuai kesepakatan.
Ku turuti saja kemauan mereka. Kamipun bergegas berjalan menuju mobil daved yang membawa kami ke sini.
Namun sebelumnya kemaluanku disumbat oleh Rey dengan mainan sex berbentuk telur 2 buah berwarna pink dimana posisi telur yang satu berada di dalam liang vaginaku terhubung dengan seuntai tali tebal dengan telur satunya yang berada menggantung di luar tubuhku menempel di antara bibir kemaluan luarku. Anehnya kedua telur mainan itu kadang mendengung bergetar sendiri saat kuberjalan beberapa langkah
uhh terasa gatal dan ngilu rasanya di kemaluan ini.terasa pengen pipis Ternyata riko memegang remote control dari mainan ini dan diam-diam menekannya berulang beberapa kali. Och akibatnya aku horny sekali dan sulit melangkahkan kakiku. Och ngilu campur gatal sekali sehingga terkadang aku harus terbungkuk sejenak sembari merapatkan pahaku sambil merasakan dinginnya udara malam di kemaluan karena tak mengenakan apa2 di balik rok pendek miniku
Ouh orgasme lagi, lendir putih dari kemaluanku mengalir keluar ada yang langsung menetes ke bawah, sebagian meleleh mengalir turun lewat sela pangkal pahaku terus ke bawah sampai tumit kiriku
akhirnya kami sampai di diskotik dekat villa nya daved.Disana kita menyewa satu ruangan vip, setelah masuk bilik, kita minum sambil mendengarkan dentungan musik diskotik, mereka kembali lagi mengerjai aku meraba tubuh ku dan menelanjangi aku di ruangan itu ,mengobok-obok selangkanganku , menyeruput menikmati lendir birahiku
Karena aku sendiri sudah semakin fly terpengaruh oleh alkohol , maka akupun mengikuti saja irama mereka terkadang .dalam buaian mereka aku ikutan minum seteguk bercampur dengan sperma mereka yang secara bergantian mulai tumpah dan diteteskannya ke dalam gelas minumanku.
Setelah seluruhnya merasakan kepuasan dan memang tempat itu sudah mau tutup kitapun bergegas kembali ke villa.
Nah, saat berada di dalam mobil daved, kembali mereka lagi2 membugili aku sambil mereka mengusap usap memekku dengan jari atau memasukkan ujung botol minuman ke dalamnya, memutar-mutarkan botol ataupun mengangsurkan ke dalam, uch mentok sampai pintu rahimku
gilanya lagi setelah sampai di villa mereka menggendongku kemudian mengikat aku berdiri bugil di sebuah tiang menyerupai pohon di halaman villa.
Seperti layaknya fotomodel telanjang. berbagai pose dengan simpul ikatan dilakukan mereka terhadapku. Pertama 2 tanganku diikat ke belakang dan selembar kain tipis menutupi bagian paha dan perutku, kemudian tanganku diikat seperti salib, dan terakhir 2 tanganku tergantung diatas tiang diatas kepalaku. Mereka mengabadikannya dengan kamera digital dan handycam.
Selama aku diikat di halaman itu mereka menusuk anus dan vagina ku dengan kontol atau botol minuman, kemudian diselesaikan dengan menyetubuhiku dalam keadaan terikat ini bergantian di vaginaku bahkan kadang kedua lubang bawahku kerisi penis-penis mereka
akhirnya acara mengarapku habis-habisan di halaman villa ini selesai sekitar jam 4pagi
Merekapun ter tidur setelah aku tergolek lemas terlentang di meja ruang tamu sambil ke dua tangan dan kakiku diikat pada ke empat sudut meja, seperti di altar persembahan dan sebagai kenang-kenangan dari mereka berempat, dengan sedikit memaksa merekapun memasangkan anting di puting susu dan di bibir dalam kemaluan ku, sungguh betapa aku melenguh berteriak sekerasnya karena pedih menitikkan airmata bahkan melolong meronta saat ke dua anting itu mereka kenakan padaku semalam
setelahnya aku kecapain menangis dan mereka juga sudah mengantuk,akhirnya kita semua tertidur,Cuma aku aja yang tertidur masih di tempat yang sama terikat tanpa busana, memamerkan anting baruku yang menempel di ujung ke dua puting dan tepi kemaluanku, meninggalkan bercak leleran darah bekas pemasangannya.
Dan besok paginya kitapun kembali ke peradaban
Semenjak kejadian itu aku menjadi makin deket sama mereka, tetapi aku paling deket sama Rey,kita sering jalan bareng seperti orang pacaran padahal kita sendiri tidak pacaran hanya teman bisa rasanya.
Karena aku gaul dengan mereka akhirnya aku mulai mengenal dugem dan obat2 terlarang, dan sekarang ini aku menjadi kecanduan ,apa bila gak kutemukan drug atau kemaluan lelaki, kepala ku rasanya sakit dan pusing.
Pernah suatu hari aku sangat sakau berat dan kebetulan aku lagi bokek
Karena aku udah sakau dan bingung akhirnya aku telpon Rey untuk pinjam duit agar bisa beli obat tersebut.
Tetapi Rey bilang gak usah pinjem . Dia punya barangnya dan Rey bisa berikan aku gratis, asal syaratnya untuk malam ini aku harus menuruti semua permintaannya .
Gak ada pilihan lain akhirnya aku setujui semua syaratnya,
Saat di telp aku sendiri sedang menggigil hebat dan keringat dingin mengucur deras di tubuhku ,sakau berat nich
pertama syarat yang di ajukan Rey tidak sulit .Aku hanya perlu pakai rok mini dan tank top tapi gak boleh pake daleman sama seperti kejadian di villa daved tempohari.
Karena aku udah pernah ,jadinya aku cuek aja.sesampainya di rumah Rey, dari luar aku liat rame sekali. Sepertinya pada saat aku datang di rumahnya ada pesta kecil kecilan.
Ternyata di dalam rumah itu ada 3 cewek dan cowok sekitar 7 orang dan di tengah ruang tamu terdapat tiang untuk menggantung terdiri dari 3 tiang,pas disaat aku masuk Rey dengan sebuah mic dia bilang ini lah bintang tamu kita,disaat Rey berkata demikian akupun bingung.lalu mendekati Rey dan menanyakan barang tersebut, lalu dia bila ok aku akan kasih tapi ada syarat lagi
Syaratnya ,Rey?”tanyaku sedikit memohon.
sekarang aku ingin kamu dengan 3 wanita seusiaku itu untuk bugil di tengah ruangan ini, lalu Rey bilang kamu mau barangnya gak?
Karena aku memerlukan drug itu,aku pun melakukannya aku mulai melepaskan bajuku satu persatu sampai bugil, berbarengan dengan 3 wanita itu. kemudian tangan ku diikat keatas dan digantung di tiang yang telah di sediakan .kedua kaki ku juga diikat dengan posisi di buka selebar lebarnya agar para tamu dapat melihat keindahan memekku yang bertindik itu walaupun sedikit tertutupi bulu kemaluanku yang tumbuh sedikit lebat di sana, kemudian setelah itu mulut ku diberangus dengan tali kekang dari kulit mirip berangus kuda,hal ini juga dilakukan sama kepada 3 wanita itu Cuma bedanya salah satu dari ketiga wanita diikat terlentang diatas meja makan.
Setelah kita semua para cewek diiket para prianya mulai meremas buah dada dan mengoral vagina kita bergantian kadang bebarengan
ada juga yang mengabadikan semua ini dengan kamera dan handycam. Setelah mereka puas meraba raba dan merangsang kita ,merekapun mulai menyetubuhi kita ada yang lewat vagina ada yang langsung main di anus dan ada juga yang mainnya keroyokan.
Setelah puas menyetubuhi dan menumpahkan sperma mereka di tubuh bugil kami para cewe, maka salah satu wanita yang di gantung itu di turunnkan lalu di taruh di salah satu meja, semula hanya terdengar lenguhan tertahan, tiba-tiba terdengar erangan menyayat dan lolongan keras, ternyata wanita itu pada ke dua ujung puting dan di klitorisnya di pasang sebuah anting, lalu di lehernya di ikatkan seuntai rantai anjing,
Rey kemudian melepaskan ikatan menyeret wanita itu kehalaman samping rumah dan di sana cewek itu lagi2 di gantung berdiri seperti huruf X dan pada anting di klitorisnya di beri pemberat timah dan anting yang di puting di kasih rantai kecil lalu rantai itu ditarik sehingga ke dua putingnya makin mancung dan tegang ke depan,dan rantai juga diikatkan ke salah satu tiang di taman.
wanitanya keliatan kesakitan, berteriak sebentar, darah masih mengalir di ujung puting dan ujung clitnya, sembari terkencing-kencing menahan derita, tetapi tampaknya dia menyukai perlakuan seperti itu. Kemudian wanita itupun menjadi bulan-bulanan pria di sana, di cambuk dan di beri tetesan lilin oleh cowok2 yang lain.
Akhirnya wanita itu gak kuat atas siksaan yang dia terima dan akhirnya jatuh pingsan.
Karena dia pingsan maka mulailah aku dan seorang cewe lagi di gilir dan di siksa, di ikat dan di cambuk .
aku sendiri pada bagian anus dimasukkan dildo panjang seolah ekor menjuntai dari anusku dan memekku di jejalkan vibrator mendengung dan berputar,yang pada akhirnya semua cewek kebagian penyiksaan. termasuk aku akhirnya ikut jatuh pingsan Karena kecapean tersiksa dan disetubuhi bertubi-tubi, bergantian dengan kasar oleh semua laki-laki yang hadir di sana
Setelah tersadar aku melihat 3 cewek itu masih diikat di tiang dengan kondisi bugil dan begitu pula dengan aku, kudapati aku kehilangan rambut kemaluanku. memekku tampak licin dan sedikit bengkak diujung clitku.entah kapan mereka mencukurnya saat ku pingsan tadi
Setelah para cewek tersadar semua, kemudian Rey masuk kedalam ruangan tersebut dan berkata di hadapan kami bahwa kita mulai saat ini dan selamanya harus menjadi wanita simpanan Rey atau budak sexnya
Kalau kita tidak mau menuruti permintaanya di akan menyebarkan semua foto dan video yang merekam segala kejadian tadi malam ke orang-orang yang kita kenal. Akhirnya kita harus menerima keadaan ini.
Saat itu masih gelap sekitar jam 1 dinihari akhirnya Rey dan beberapa temannya mengantar kita pulang. Namun Rey tidak memberikan baju kita, jadi kita di anter pulang dengan keadaan bugil, pas didalam mobil Rey dan kawan2nya hanya memberikan isolasi lakband hitam menempel dari punggung kedepan sampai bagian puting dan vagina kita. Sehingga masing masing cewe serasa memakai bentuk Bra dan CD dari isolasi
akhirnya aku menjadi sex slave Rey dan kawan2nya hingga sekarang.
mba ana
Mba Ana
Cerita Panas Kontrakan Birahi
Dia berdiri di samping meja makan yang telah bersih dari peralatan makan, sambil mengurut perlahan batang penisnya.
“Iya… aku datang…dasar tikus hutan ….” Candaku sambil tertawa.
Aku letakkan piring dan gelas kotor di dapur, lalu aku kembali kearah ruang makan. Aku lepas cd yang membungkus vaginaku dan aku lempar ke atas tumpukan cucian kotorku. Cd itu adalah cd terakhirku, karena semua cd yang aku miliki belum sempat aku cuci. Sekarang, satu-satunya baju yang masih menempel di tubuhku adalah daster batik berbelahan dada rendah yang menggantung sepanjang separuh pahaku. Adalah suatu rutinitas, hampir setiap pagi aku harus melayani nafsu suamiku yang menggebu-gebu. Nafsu seks yang seolah-olah tak pernah ada habis-habisnya. Sepertinya, yang ada diotaknya ketika ada aku, hanyalah tentang seks…ngentot…make love…ngewe. Hanya itu saja. Aku, sebagai istrinya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala saja melihat tingkat yang aku anggap lucu ini. Aku mendekat, sambil menurunkan tali pundak daster miniku. Daster itu meluncur turun dengan cepat, dan langsung menampakkan kepolosan tubuh putihku. Putingku telah ereksi, dan vaginaku juga mulai basah. Dikecupnya kening, pipi, hidung, leher dan bibirku. Karena aku mudah sekali terbakar nafsu birahi, tak perlu menunggu terlalu lama untuk pemanasan. Langsung saja lidah kami bergulat. Tangan kiri mas Andri mulai memelintir dan meremas putting payudaraku, dan tangan kanannya merogoh vaginaku dari depan. Aku pun tak mau tinggal diam, aku raih batang penisnya yang sudah menegang dengan kedua tanganku dan aku kocok penis mas Andri, naik turun dengan cepat.
“Memek kamu cepet sekali basah dek… Kamu dah sange ya sayang?” tanyanya sambil tersenyum.
“Ya iyalah…. Siapa coba yang ga sange klo jari mas mengobok-obok memek adek kayak gitu..” Mas Andri tersenyum, ia menatap wajahku yang sudah mulai memerah sayu.
Mas Andri mendadak menghentikan gulat lidahnya, dan mengarahkan mulutnya ke payudaraku. HAP. Dia langsung mencaplok dada kananku. Disedotnya kuat-kuat, lidahnya menari lincah diatas putingku. Geli. Tak lama, mulutnya pun pindah ke payudaraku yang kiri. HOP. “Annnnggg…” kali ini giginya ikut bermain, dengan menggigit perlahan puttingku yang mulai mengeras.
“Owhh… sssshh” Aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuannya.
“Mas, sekarang ya….” Bisikku lirih. “Aku sudah tak tahan”. Mas Andri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tubuh telanjangku dibalik menghadap ke arah meja makan dan ia mendekap tubuh mungilku dari belakang. Walau sudah berubah posisi, kedua tangannya masih saja menggerayangi tubuhku. Tangan kiri meremas perlahan payudaraku, dan tangan kanan mencolokkan beberapa jemari gemuknya ke dalam vaginaku. Aku merasakan penisnya berada tepat di belahan bokongku, digesek-gesekkannya penis itu dengan penuh perasaan.
“Mas.. ayo…. Dimasukkin … Adek udah nggak kuat lagi….” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa aku tahan lagi, mas Andri lalu mendorong pundakku ke depan dan bertumpu pada meja makan.
“Lebarin kakimu dikit dek…. Nah gitu”
Aku terperanjat ketika merasakan, tangan kanan suamiku mencoblos perlahan vaginaku dari arah pantat. “Pemanasan…” katanya menenangkanku. Disodok-sodokkan jemari gemuknya beberapa kali di vaginaku. Cairanku membanjir. Dengan perlahan, mas Andri mulai mengarahkan kepala penisnya kearah vaginaku. Digesek-gesekkan batang penis itu diluar bibir kemaluanku. Ia berusaha melumasi seluruh batang penisnya dengan cairan vaginaku. Mas Andri mengambil ancang-ancang. Kurasakan kepala penisnya di antara bulatan bokongku. Perlahan ia mulai mendorong batang penisnya dan mulai menyeruak masuk. Benda itu begitu hangat, kenyal namun keras. Sambil tetap meremas-remas kedua dadaku dengan satu tangan, mas Andri mendorong sedikit demi sedikit kepala penisnya.
“CLEP” kepala penisnya telah masuk.
“Uhh…” aku mendesah sambil memejamkan mataku rapat-rapat. Walau aku sudah terbiasa dengan ukuran penis mas Andri, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul.
Mas Andri menggeser-geser posisi tubuhku, mencoba membuatnya menjadi lebih mantap ketika kami bersetubuh. Perlahan, batang penisnya mulai ia dorong masuk ke vaginaku. Aku merasakan denyut-denyut pelan yang membuat organ kewanitaanku semakin membanjir basah. Sedikit demi sedikit, sampai batang sepanjang 16 cm itu benar-benar hilang ditelan organ kewanitaanku.
“Mmm…mas….” Suaraku gemetar menahan nafsuku.
“Kenapa dek…? Enak…?” mas Andri mengecup punggungku ketika melihat aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
Saking nafsunya, cairan vaginaku menjadi tak terbendung, karena aku merasakannya mulai turun, mengalir ke arah pahaku.
“CLEP… CLEP… CLEP… “ mas Andri mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, mengaduk dan menusukkan batang penisnya dalam-dalam, semakin lama semakin cepat.
“PLAK… PLAK… PLAK…” Suara tubuh kami ketika saling bertabrakan.
“SREEK…SREEK…SREEK…” Meja makan yang aku buat sebagai tumpuan tubuhku juga perlahan mulai bergerak, tiap kali pinggul mas Andri menabrak pantatku. Kaki mejanya berderit-derit, tergeser oleh gerakan liar kami berdua. “DUG… DUG… DUG…” Suara bibir meja ketika menabrak tembok dan desahan suara kami memenuhi ruang makan yang sempit ini.
“Enak dek…?” tanyanya dari arah punggungku sambil terus meremas payudaraku.
Saking enaknya, aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum mendesis sambil mengangguk-anggukan kepalaku. Mulut mas Andri tak henti-hentinya mengucapkan kata “Aku sayang kamu dek” tiap kali ia memompa penisnya diliang vaginaku. Terkadang ia mengecup dan menjilat punggungku. Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil melenguh keenakan, merasakan tusukan-tusukan tajam penis mas Andri.
“Pagi hari yang berisik… “ pikirku tiap kali kami bersetubuh.
Karena memang benar, kami adalah pasangan yang tidak bisa diam, selalu bercinta tiap kali ada kesempatan. Tak peduli akan waktu, tempat ataupun situasi. Oleh karenanya aku panggil suamiku tikus hutan, karena nafsunya mirip dengan aktivitas makhluk kecil itu, hanya bercinta dengan pasangannya sampai dia mati. Gelombang kenikmatan itupun perlahan datang. Jantungku bercetak semakin cepat, nafasku memberat, siap menyambut orgasme pertamaku di pagi hari ini.
“Shhhh… Aku mau keluar mas…ayo… tusuk memek adek lebih dalam…” kataku menyemangatinya.
Tanpa menunggu perintahku untuk yang kedua kalinya, mas Andri semakin mempercepat sodokannya. Tubuhku terhentak-hentak dengan keras, tiap kali menerima sodokan penis mas Andri. Penisnya terasa begitu cepat, keluar masuk dengan ritme yang semakin cepat. Meja makan tempat aku menyandarkan tubuhku pun sepertinya ikut merasakan dorongan brutal mas Andri, berderit dengan keras dan menabrak tembok seiring desahan kenikmatan kami berdua.
“Shhh…ayo mas… aku sudah dekat.. aku mau keluar …. Ssshhhh…” erangku kepada suamiku. Dengan tangan kiri yang masih menopang badanku, aku pegang pantatnya dengan tangan kanan. Aku gerak-gerakan pantat semok itu kearahku, berharap mas Andri semakin mempercepat goyangannya.
“Mas…ayo…. sodok aku dengan keras… tusuk aku dengan tititmu… aku mau keluar mas…”
Di tengah-tengah pendakian kami ke puncak gunung kenikmatan. Tiba-tiba mas Andri menghentikan sodokannya. Dia terdiam, menusukkan penisnya dalam-dalam ke arah vaginaku, dan….
“Aaahhhhhhkkkkk……… ahhhh… ahhhh… “ mas Andri berteriak lirih. Gumpalan cairan hangat langsung memenuhi rongga rahimku. Tak begitu banyak, namun cukup membuat liang rahimku agak sedikit penuh. Mas Andri mendorong tubuh gemuknya ke arahku dengan brutal tiap kali penisnya memuntahkan lahar panasnya. Sampai aku merasa sakit pada bagian paha depanku yang terkena bibir meja.
Enam kali sodokan keras aku terima pada vaginaku ketika suamiku ejakulasi, sebelum akhirnya ia merubuhkan tubuhnya ke arahku. Berat sekali. Nafasnya tersengal-sengal.
“Aku sayang kamu dek…” ucapnya sambil mengecup bagian belakang leherku.
“Iya.. Aku juga sayang kamu mas” jawabku lirih.
Sebenarnya ada rasa kesal karena aku masih belum mendapatkan orgasmeku. Sekali lagi, mas Andri gagal memberiku kenikmatan yang telah lama aku inginkan. Tidak sampai 5 menit dia sudah terpuaskan, mas Andri selalu saja begitu, terlalu cepat ejakulasi.
“Mas… aku masih pingin… ayo ngewe lagi… ayo mas…” kataku.
“Aduh… mas dah terlambat dek… ntar malem ya kita sambung lagi…” elaknya.
Selalu saja, kata-kata itu yang menjadi alesan. Mas Andri memeluk tubuh telanjangku sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebagai istri yang harus selalu patuh, aku harus menyembunyikan rasa ketidakpuasanku. Aku harus bisa ikut tersenyum melihat kepuasan yang terpancar dari wajahnya, dan membiarkan kehausan nafsuku hilang dengan sendirinya. “PLOP” Aku masih merasakan kedutan pelan di dinding vaginaku ketika batang penis mas Andri yang telah lemas, jatuh keluar dengan sendirinya. Sekarang penis itu menggelatung tak berdaya di luar bibir vaginaku. Meneteskan lendir kenikmatan kami berdua di belakang paha dan betisku.
“Dek, aku berangkat dulu, khawatir ketinggalan angkutan… dah siang nie” kata mas Andri sambil mengangkat badan lebarnya dari punggungku.
Dia menepuk pantat semokku dan balikkan badanku yang masih tengkurap diatas meja makan. Aku sekarang dalam posisi telentang, menatap langit-langit rumah kontrakanku. Dengan kaki yang menjuntai di tepi meja makan. Mas Andri tiba-tiba mencium vaginaku dan menyeruput cairan yang keluar dari vaginaku.
“Hayo… kamu lupa ya dek?” tanyanya sambil tertawa.
“Hahaha.. geli mas… geli…iya iya…adek inget….” Jawabku berusaha menjauhkan mulutnya dari selangkanganku.
Memang sudah menjadi kebiasaan, jika setelah kami bersetubuh, aku selalu membersihkan seluruh batang penisnya dengan mulutku.
Aku segera bangun, turun dari meja makan dan langsung berjongkok di depan selangkangan suamiku. Aku raih batang penisnya yang menggelantung lemas itu, dan aku jilat perlahan. Kuhirup dalam-dalam aroma kewanitaanku yang bercampur dengan spermanya. Sejak pertama kali kami bersetubuh, aku memang suka sekali meminum sperma, teksturnya mirip dawet, minuman khas dari pulau jawa yang terbuat dari campuran gula merah dan santan kelapa, terlebih lagi aromanya, mirip aroma daun pandan. Kubuka mulutku lebar-lebar, lalu aku masukkan seluruh batang penisnya. Aku kecap, hisap dan urut batang penis lemasnya dengan mulutku. Berharap penis itu bisa tegang kembali. Namun setelah beberapa menit aku oral, sama saja, penis itu tetap menggelayut lemas.
“Nah…..Dah bersih mas…” kataku. “Dah… sana berangkat kerja…”
Mas Andri menyuruhku berdiri, dan sekali lagi, ia kecup keningku. “Kamu yakin? Nggak mau menunggu besok Minggu buat mengerjakan semua pekerjaan rumah ini…? Kamu mau mengerjakannya semua ini sendirian? Jangan terlalu capek ya istriku sayang” tanyanya begitu mengkhawatirkanku.
“Iye baweeeeel… aku yakin… dah ah… jangan menganggap aku cewek manja seperti dulu… aku dah berubah… sana buruan berangkat” kataku pada suamiku tercinta.
Dengan tubuh telanjang bulat dan vagina yang masih meneteskan cairan kenikmatan kami berdua, lalu aku antar mas Andri ke pintu depan sambil bergelayutan manja dipundaknya.
“Dah ah… sana buruan pakai dasternya… ntar ada orang yang ngliat loh…” kata suamiku.
“Ah.. kagak ada yang bakalan ngeliat mas… khan rumah kita paling tertutup…”
“Berani yaaaa……. “ Kata mas Andri sambil mencubit pantatku..
“He he he… Iyeeeee….”
Diciumnya kening dan bibirku tuk terakhir kali, dan tak lupa salam berangkat kerja andalannya. Meremas kedua belah dadaku, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku.
“Salam sayang buat mimi imutku… jaga baik-baik ya dek” katanya sambil tersenyum manja.
“Jaga juga dedenya… jangan diapa-apain sampai ntar malam kamu pulang ya mas” sambungku.
Mimi dan Dede adalah panggilan sayang kepada alat kelamin kami masing-masing. Mas Andri melambaikan tangan, dan melangkah menjauh meninggalkan aku sendirian di rumah kontrakan baruku ini.
Mas Andri, suamiku, berumur 32 tahun, berpostur agak gemuk, 170cm/90kg, dan berkulit putih mirip denganku. Dia baru saja diangkat jabatan menjadi seorang pengawas lapangan disebuah Perusahaan Pengeboran Minyak Internasional. Mas Andri adalah seseorang yang bijaksana dalam pengambilan keputusan, pandai dan penuh dengan perhitungan.
“Bukannya pelit dek… tapi khan lumayan… kita bisa menghemat uang jutaan rupiah perbulan loh kalo tinggal di rumah ini… daripada aku harus menyewa rumah mewah dekat kantor… toh beda jaraknya cuma 1 jam…” itulah kalimat yang selalu di ulang-ulang ketika aku sedikit ngambek karena keputusannya mengambil rumah yang “jauh dari peradaban ini”.
Rumah kontrakanku adalah rumah petak, yang terbagi menjadi beberapa bagian, teras, ruang tamu, ruang tidur, dapur, kamar mandi dan halaman belakang untuk cuci dan jemur. Aku dan suamiku kebagian rumah paling ujung. Rumah yang paling jauh dari pintu masuk komplek kontrakan, namun memiliki ukuran paling besar diantara rumah kontrakan yang lain.
“Hari yang cerah untuk memulai aktifitas” kataku dalam hati.
Aku ambil daster kecilku yang teronggok di kaki meja makan lalu aku mulai mengenakannya lagi melalui atas kepalaku. Malas sekali rasanya ketika aku mulai mengenakan dasterku. Sepertinya sangat nyaman jika bisa hidup seperti kaum nudis yang tak perlu repot-repot menggunakan selembar bajupun ketika beraktifitas. Kubawa piring dan gelas kotor ke dapur, aku letakkan di dalam bak pencucian. Aku pandang tumpukan cucian kotor yang sudah lama teronggok dan mulai mengeluarkan bau tak sedap di sudut kamar mandi.
“Sabtu ini akan menjadi hari yang melelahkan. Ayo Liani, kamu pasti sanggup menjalani ini semua” aku menyemangati diriku sendiri dan mulai mengerjakan pekerjaan rumahku itu.
Aku harus bisa menjadi istri yang bisa diandalkan oleh suamiku. Menyapu, mengepel dan mencuci piring bisa aku lakukan dengan cepat. Namun ketika aku akan memulai mencuci tumpukan baju kotor, langsung terbayang betapa lelahnya tubuhku nanti malam. Ternyata menyeret bak cucian basah itu begitu susah, berat, dan licin. Perlu tenaga ekstra untuk bisa memindahkannya ke dari kamar mandi ke halaman belakang.
“Lagi mau nyuci mbak?” Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara seorang pria. Celingukan aku mencari asal suara itu.
“Banyak juga cuciannya mbak… dah berapa minggu tuh baju-baju nggak dicuci?” tambahnya lagi.
Ternyata suara itu berasal dari penghuni rumah kontrakan di samping tempat aku tinggal. Mas Manto, begitu tetanggaku biasa memanggilnya, adalah seorang satpam yang bekerja di perumahan dekat komplek kontrakan tempat aku tinggal. Selama aku tinggal disini, baru pertama kali ini aku melihat seperti apa bentuk suami mbak Narti sebenarnya. Mas Manto berumur sekitar 40 tahunan. Posturnya mirip dengan suamiku namun agak kurus 170cm/60kg dengan kumis tipis yang dipotong rapi diatas bibir tebalnya. Kulitnya coklat kehitaman dengan rambut kriting pendek. Sedangkan istrinya, Mbak narti, berusia 35 tahunan, berperawakan gemuk dengan payudara yang meluap-luap, khas badan ibu-ibu, adalah seorang pelayan toko yang juga bekerja pasar dekat komplek rumah kontrakan kami.
“Iya…” jawabku sekenanya. “Dah hampir 2 minggu nie belum diapa-apain….” tambahku lagi.
Sebenarnya aku sudah mengenal siapa mas Manto, karena hampir setiap hari aku melihatnya berangkat kerja, tapi selama aku dan suamiku tinggal di rumah kontrakan ini, belum pernah sekalipun aku bercakap-cakap. Hanya kenal sebatas sapa dan cerita saja.
“Saya Manto mbak…suami si Narti..” katanya lagi sambil menjulurkan tangan.
“Mmm… Nama saya Liani… “ jawabku sambil menyalami tangannya.
Langsung saja tubuhku merinding begitu menyentuh tangan mas Manto. Tangan itu begitu dingin, hitam, dan keriput, sangat kontras dengan tanganku, putih, mulus. Entah kenapa, begitu aku melihat wajah dan postur tubuhnya, aku langsung terbayang akan cerita-cerita pemerkosaan sadis yang menimpa kepada para perantau di tanah orang. Apalagi saat itu aku hanya mengenakan daster pendek tanpa baju dalam sama sekali. Memamerkan kaki panjang dan belahan dadaku.
“Mas Andri kerja mbak?” tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.
“I… Iya… baru saja berangkat”
“Oooowwwh….. saya permisi ya mbak… gerah habis mencuci…mau mandi dulu” jawabnya sambil tersenyum.
“Iya….silakan” kataku sambil melihat deretan cucian mas Manto yang masih meneteskan air sabun.
“Sopan juga dia…” ternyata aku salah pikir terhadap mas Manto.
Walau hanya dari perkenalan singkat tadi, aku merasa kalau mas Manto tak seperti orang-orang kebanyakan. Sopan, tak seperti orang yang berpandangan jahil terhadap wanita berbusana seksi sepertiku barusan. Aku berpostur badan sedang dan terbilang langsing, 165cm/45kg, berkulit putih dengan ukuran buah dada yang cukup besar. Yang membedakan aku dengan wanita lain adalah pinggangku sangat kecil dan kakiku agak lebih panjang dari kebanyakan teman-temanku. Mata bulat lebar, bibir merah dan rambut panjang hitamkulah yang selalu aku banggakan. Sebenarnya aku kurang begitu suka dengan baju seksi, tapi aku lebih memilih baju yang berukuran kecil, karena merasa nyaman aja ketika digunakan untuk beraktifitas.
“PRAK….” Bak cucianku pecah, ketika aku mencoba menggesernya kehalaman belakang.
Pecah karena tak kuat menahan beban rendaman baju kotor kami. Air cucian kotorpun langsung keluar dari sela-sela bak cuci pecahku, menggenang, disertai bau apek yang cukup menyengat.
“Sialan… belum juga mencuci…” emosiku langsung meninggi…” sabar Liani… sabar…”
Aku diam sejenak, memikirkan apa yang harus aku lakukan.
“Daripada beli, mungkin lebih baik aku pinjam saja sebentar.” Pikirku
“Mas Manto..” Walau pintu halaman belakang rumahnya terbuka begitu saja, tapi aku berusaha tuk sopan. Aku ketuk pintu rumahnya beberapa kali.
Mas Manto
Tak ada jawaban.
“Mas Manto..” aku panggil namanya lagi dengan suara lebih lantang.
“Iya sebentar…” jawabnya dari dalam rumah. “maaf tadi saya masih mandi… ada apa ya mbak??” tanyanya sambil mengikatkan handuk kecil berwarna hijau yang sudah lusuh dan sedikit berlubang di pinggangnya yang ramping. Badannya basah kuyup, dengan rambut yang juga masih meneteskan air..
“Ada apa ya mbak? Kok kayaknya kebingungan gitu?” tanyanya.
Aku tak menjawab, aku masih terkesima melihat postur tubuhnya, badannya begitu hitam, kekar, dengan bongkahan dada dan lengan yang menonjol disana-sini.
“Mbak?” tanyanya lagi. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Eeh…maaf…anu….. bak cuci aku pecah” kataku terbata-bata. “Apa boleh aku pinjem bak cucinya? Ntar begitu sel………..”
“Boleh-boleh… bentar ya saya ambilin dulu” potongnya sebelum aku menyelesaikan kalimat.
Mas Manto buru-buru masuk, dan mengambil bak mandi yang tergeletak di sudut lantai kamar mandinya. Ketika dia membalikkan badan, kembali aku terkesima melihat otot-otot kekar badannya. Punggungnya lebar dan pantat yang hanya ditutupi handuk merah lusuh itu begitu semok. Aku sedikit tertawa ketika melihat kaki mas Manto. Pahanya besar tapi betisnya kecil. Mirip badan tokoh film kartun yang memang hanya badan bagian atasnya saja yang besar, namun bagian bawahnya kecil. Dan dari disinilah cerita itu dimulai. Ketika dia membungkuk tuk mengambil bak cuci miliknya, bagian belakang handuk itu otomatis meninggi, mengikuti gerak badannya. Dan dari sela-sela paha belakang mas Manto, aku melihat barang yang tak seharusnya tak liat. Hitam, panjang menjuntai, dengan ujung besar berwarna merah kehitaman. DEG….Detak jantungku terasa berhenti sejenak. Langsung saja aku tinggalkan pintu rumahnya dan masuk kedalam rumahku. Aku tutup pintu dapur, dan langsung saja aku duduk terjatuh. Lututku lemas dan dadaku berdebar-debar mengingat hal yang baru saja aku lihat. Aku melihat barang yang seharusnya tidak boleh aku lihat, barang yang menjadi simbol kejantanan dan kebanggaan kaum pria. Ya, barang itu biasa disebut penis, titit, atau kontol. Walau sekilas, seumur-umur, baru saja aku melihat barang yang bukan milik suami aku sendiri. Walau sekilas, tapi aku bisa membayangkan bagaimana bentuk keseluruhan dari barang milik mas Manto itu. Hitam, besar, dengan urat-urat yang mengelilingi sekujur batangnya, berkepala merah kehitaman dengan mulut kemaluan yang lebar menganga, bau amis asam selangkangan yang menusuk hidung dan rambut kemaluan yang lebat.
“Mbak… loh… kemana orangnya….?” Suaranya terdengar pelan dari sebelah rumah.
“Mbak…ini bak cucinya……” panggilnya dari samping rumahku. Mas Manto pun akhirnya mengantarkan bak cuci miliknya ke halaman rumahku. Karena melihat aku yang tak langsung keluar, mas Manto mendekat kearah pintu dapur, mengintip kedalam dari jendela dapur, dan mengetuknya perlahan.
“Mbak Liani… ini bak cucinya…” panggilnya.
Andai saja mas Manto agak menunduk dan melihat kebawah, mungkin saja ia bisa melihatku yang meringkuk di balik pintu dapur rumahku. Meringkuk menahan malu yang seharusnya tak aku rasakan. toh yang terlihat adalah bukan aurat tubuhku. Detak jantungku masih berdetak begitu kencangnya sampai aku sama sekali tak berani untuk bergerak. Susah rasanya aku berdiri dengan kedua kakiku. Lemas, tak bertenaga. Dengan gerak super pelan, aku mencoba berdiri, memasang telinga, untuk mendengarkan, mungkin saja ia masih ada di dekat jendela. Tenagaku perlahan pulih, setelah melihatnya berdiri tak jauh dari pintu dapur. Membelakangiku sambil berkacak pinggang. Dari balik korden tipis jendela dapur, aku amati gerak-geriknya. Dengan muka kebingungan, mas Manto hanya bisa celingukan ke arah rumah kontrakanku lalu mengamati banyaknya cucian kotor yang terhampar di depannya. Karena mungkin merasa iba, diapun membantu memindahkan cucian kotor yang ada di bak cuciku yang telah pecah, ke bak cuci miliknya. Sekali lagi, ketika mas Manto memindahkan baju-baju kotorku, aku pun kembali melihat barang hitam miliknya. Handuk kecilnya naik turun. Memperlihatkan barang yang ada dibaliknya setiap kali ia membungkukkan badan untuk memindahkan cucian kotorku. Ketika sedang dalam posisi membungkukkan badan tuk mengambil baju-bajuku, tiba-tiba mas Manto terdiam. Masih dalam posisi menungging. Lama sekali. Dan selama itu pula aku menatap tajam ke arah benda yang bergelatungan di balik handuk kecilnya. Bergoyang goyang seiring gerakan pantat mas Manto.
“Apa yang dia lakukan” tanyaku dalam hati.
Ternyata hal yang membuatnya terdiam adalah…. Tumpukan baju dalam kotor milikku. Iya, benar sekali, mas Manto mengamati baju dalam kotorku.
Tiba-tiba mas Manto berdiri, membalikkan badannya dan melihat ke arah rumahku, matanya celingkuan mencari dimana aku gerangan. Dia berpindah posisi, memutari bak cucian kotorku, mengawasi segala gerakan dari dalam rumah. Matanya sangat tajam, mengamati setiap sudut rumahku dengan seksama. Namun aku yakin dia tak bisa mengetahui posisiku, karena terhalang oleh korden tipis jendela dapurku. Karena menurutnya aman, diapun membungkukkan badannya kembali dan dengan tangan kirinya, dia mengambil salah satu cd kotorku. Cd putih dengan pinggiran berenda. Dengan mata yang masih celingukan penuh rasa was-was, dia mengamati dalam-dalam cd kotorku itu. Diamati bercak lendir lengket berwarna putih yang menepel di bagian depan cdku. Dan dengan jemari tangan kanannya, disentuhlah bercak lendir itu, dikorek-korek. Lalu, apa yang sama sekali tak pernah aku bayangkan terjadi. Mas Manto, tanpa rasa jijik sedikitpun, menjilat jemari tangan bekas mengkorek cd kotorku. Karena kurang puas, dia menghirup, menjilat dan mengecapnya, seolah-olah itu adalah makanan paling enak sedunia. Gila. Dia lakukan itu semua dengan tanpa rasa jijik sedikitpun. Tiba tiba, perlahan namun pasti, ada sesuatu yang bergerak dari dalam handuk kecilnya. Penisnya mulai ereksi. Naik, sedikit demi sedikit, semakin menggembung, mengembung dan mengeras. Ereksi dengan diiringi kedutan denyut nadi yang ada di batang penisnya. Handuk kecilnya tersingkap, terdorong ke atas, oleh batang kejantanan seseorang yang sama sekali belum aku kenal dekat. Penis hitam yang sempurna, keras, berurat, dengan ujung berwarna merah pekat. Buah zakarnya mengelantung pasrah, ukuran zakarnya pun tak kalah hebohnya, sebesar jeruk nipis. Penis itu terlihat begitu gagahnya, mulai meninggi keatas disertai dengan kedutan yang berirama. Naik, naik, naik dan terus naik. Berkedut naik, sampai melewati pusarnya. Sekarang yang ia lakukan sungguh nekat. Sama sekali tak khawatir akan adanya orang yang melihat. Dia berdiri di halaman belakang rumahku, menghadap tepat ke arahku dengan penis yang tegak mengacung sambil menjilat dan mengecap cd kotorku dengan rakus. Merasa tak cukup hanya mengecap satu cd kotorku, dengan tangan kanannya yang masih bebas, diapun kembali mengambil cd kotorku. Kali ini yang berwarna hijau muda dengan gambar bunga bunga di bagian vagina. Sekarang di kedua tangannya, ia memegang cd kotorku.
Tapi kali ini ada yang berbeda. Cd hijau yang ada di tangan kanannya tak hanya ia cium dan jilat saja. Melainkan……ia pakai sebagai sarana masturbasinya. Ia lilitkan cd hijauku ke batang penisnya dan ia mulai menggerakkan tangan kanannya maju mundur. Makin lama makin cepat, main cepat dan makin cepat. Dia mengocokkan penis yang terbungkus cd hijauku dengan kecepatan tinggi. Dengan sangat bernafsu dan brutal. Melihat tingkah laku mas Manto, detak jantungku pun semakin berdebar-debar tak karuan. Tubuhku menghangat, nafasku memberat, putingku mengeras dan yang paling tak aku sadari, kemaluanku mulai membasah. Secara reflek, aku sentuh cd yang aku pakai, dan aku raba belahan bibir kemaluanku. Aku basah, aku horny, aku terhanyut akan tingkah laku kurang wajar yang telah dipertontonkan oleh mas Manto. Bagian depan cdku terasa sangat hangat dan basah oleh cairan kewanitaanku. Astaga, aku benar-benar dibuatnya mabuk kepayang. Mas Manto, seseorang yang sama sekali belum aku kenal dengan dekat, berani berbuat hal yang begitu nekat. Begitu gila, yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. Dengan tanpa rasa malu sama sekali ia masturbasi dengan menggunakan cd kotorku di halaman belakang rumahku. Badan kekar berotot, kulit hitam yang basah oleh air bekasnya mandi, ditambah sinar matahari yang menerangi halaman belakangku, membuat apa yang ia lakukan terlihat begitu seksi. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan perasan yang berbeda kepadanya. Perasan yang tak bisa aku lukiskan dengan kata-kata. Hanya ada rasa penasaran dan ingin tahu yang begitu menggebu. Mas Manto semakin mempercepat kocokannya. Badannya membungkuk dan membusur. Otot-otot tangan dan lehernya mengejang. Ia merem melek, pupil matanya tak terlihat, hanya putih. Ia terlihat begitu menikmati semua yang sedang ia lakukan. Melihatnya begitu menikmati akan apa yang sedang ia perbuat, aku jadi ikut merasakan kenikmatan. Tiba-tiba, muncul perasaan aneh dari dalam diriku. Perasaan nakal, binal, liarku sepertinya muncul. Ingin rasanya aku membuka pintu dapurku dan mendekap tubuhnya, mencium bibirnya dan meraih penisnya. Ingin rasanya aku membantu menuntaskan semua hasrat nafsunya. Menjilat batang penis yang begitu besar, hitam, panjang. Ingin sekali aku merasakan tusukan dan sodokan penis dahsyatnya di liang vaginaku. Dan… Aku ingin mas Manto menumpahkan semua spermanya di dalam rahimku.
“Liani…..mbak Liani….terima persembahanku untukmu….. mbak Lianiku…..” bisiknya lirih sembari dia mempercepat kocokannya.
“Mbak Lianiku….?” Tanyaku dalam hati. Heran.
“Ooooooohhhhh…..mbak Liani!!!”
Mas Manto tiba-tiba menghentikan kocokan tangan kanannya dan dengan cd di tangan kiri, ia berusaha menampung semua tumpahan cairan kenikmatannya.
“Crut… crut… crut… crut…”
Mas Manto orgasme. 8 tembakan sperma menabrak cd putih di tangan kirinya. Semburan benih-benih kejantanan seorang lelaki menyemprot keluar dari mulut penisnya yang lebar. Begitu banyak. Sampai-sampai cd putihku yang ia gunakan untuk menampung tumpahan cairan nafsu mas Manto, tak mampu membendung itu semua. Cairan itu merembes keluar dari cd hijauku yang ia gunakan untuk melilit penisnya, dan menetes jatuh ke atas cucian kotorku. Sungguh menakjubkan melihat ekspresi wajahnya. Semua terjadi seperti dalam gerakan slow motion. Andai aku punya handycam, pasti aku kan merekam semua kejadian barusan. Penisnya berkedut dengan hebatnya. Berkedut sambil memuntahkan semua cairan spermanya.
“tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt…….. tiiiiiiiiitt……..” kami berdua dikejutkan oleh suara SMS dari HP milikku. Suara yang walau lirih, tapi terdengar begitu lantangnya. Memecah kesunyian yang terjadi selama beberapa menit ini. Mas Manto terlihat begitu panik, dia bingung, celingukan, mengkira-kira, kapan aku bakal menampakkan diriku dari dalam rumah. Dia juga bingung dengan benda yang sekarang masih ada di kedua telapak tangannya. Cd putih yang ia gunakan tuk menampung tumpahan sperma dan cd hijau yang ia gunakan tuk membungkus batang penisnya, semua basah karena sperma. Dibuang sayang, di letakkan di bak cucian pun khawatir aku akan curiga. Karena kehabisan akal, mas Manto akhirnya melepas handuk kecil yang melilit pinggang dan meletakkannya di pundak. Astaga, sekarang aku dapat melihat keseluruhan tubuh telanjang beserta penis raksasa mas Manto yang masih menggelatung lemas setelah dikocoknya habis-habisan. Penis itu telihat seperti buah terong, panjang, besar, berwarna hitam kemerahan dengan ujung kepala yang menggelembung. Dan anehnya lagi, penis itupun masih berkedut dan mengeluarkan sperma.
“Ga ada habisnya tuh peju” pikirku kagum.
Dengan cepat, mas Manto langsung mengenakan cd putihku yang penuh dengan spermanya. Cd tersebut dipaksa untuk dapat masuk, karena mas Manto tak dapat menemukan lokasi tuk menyembunyikan cd tersebut. Janggal sekali aku melihatnya mengenakan cd wanita. Ujung kepala penisnya tak dapat sepenuhnya tertampung. Masih menjulang keatas, melawati karet kolor cdku. Sampai-sampai ia harus bersusah payah tuk menekuk batang penisnya ke bawah, kearah pantat, supaya tak terlihat lagi. Biji testisnya pun terlihat tak nyaman, menggelambir keluar dari masing-masing celah celana dalamku. Dan cd hijau, yang juga terciprat spermanya, ia sembunyikan di dalam tumpukan baju kotorku. Setelah itu, ia segera melilitkan kembali handuk kecilnya, dan bertingkah seperti tak ada apa-apa..
“Mbak Liani…” panggilnya. “Mbak…Ini bak cucinya…”
“Eeh iya… sebentar mas….” Jawabku. Aku mencoba mengatur nafas, menyembunyikan deru nafsuku yang juga masih menggebu-gebu ini..
“Maaf mas… tadi mas Andri telpon, jadi mas Manto langsung saya tinggal deh…”
“Oh gapapa mbak…ini baju kotornya sudah saya pindahkan ke bak cuci saya… jadi mbak Liani tinggal meneruskan saja…” mas Manto berkata sambil mengurut-urut telapak tangannya di depan selangkangan, mencoba menutupi gundukan penis yang aku kira mulai menggeliat lagi.
“I….iya…ma kasih mas… jadi ngerepotin nie ceritanya….” Kataku.
“Ah.. gapapa kali mbak…. Lagian aku kasian kalau melihat cewek secantik mbak Liani harus bercapek-capek sendirian gini….” Katanya tersenyum meringis.
“Wah… sepertinya dia mulai merayuku” batinku. Aku hanya bisa tersenyum-senyum mendengar kalimat mas Manto.
“Hhmmm… anu mas… kalau boleh… apa saya bisa….….”
“Boleh boleh…mo apa ya?” potongnya.
“Anu… apa bisa saya minta tolong buat …..sekalian penuhin bak cuci dengan…..?”
“Wah bisa banget mbak.. tenang aja… “potongnya lagi. “bahkan kalau mau… saya bisa bantu mbak liani nyuci”in bajunya…”
Dengan sigap, mas Manto memindahkan air dari bak penampungan ke bak cucinya. Dia terlihat sama sekali tak merasa terbebani dengan segala perintahku. Dan tak lama, semua bak cucinya penuh dengan air bersih.
“Yup….semua bak cuci sudah saya penuhi ….apa ada hal lain yang bisa saya kerjakan??”. Matanya berbinar-binar penuh harap. Terlihat seperti anjing yang haus akan perintah dari majikannya.
“Hmmmm… sepertinya itu saja deh mas….” Kataku sambil tersenyum.
“Mbak Liani tuh orangnya murah senyum ya? Jadi seneng saya mbantuinnya… jadi ga ada capek-capeknya dah…” candanya.
Langsung saja aku duduk di bangku kecil yang ada disisi bak cuciku, mulai mengucek dan membilas semua baju kotorku. Tapi begitu aku duduk di bangku kecil itu, aku baru sadar. Aku tak mengenakan cd dan bra sama sekali, dan di depanku, ada mas Manto, suami tetanggaku. Aku merasakan hal yang sangat kurang nyaman. Bangku itu terasa begitu pendek, hanya 15 cm dari lantai. Jadi, mau tidak mau, aku harus duduk dalam posisi jongkok. Paha, betis, lengan dan belahan dadaku terpampang jelas di depan mata mas Manto. Dan yang paling parah, daster kecilku ini sama sekali tak mampu untuk menutupi selangkanganku. Walau vaginaku bersih dan aku bisa dengan santai berbugil ria di hadapan mas Andri, tapi tetap saja, mas Manto adalah orang lain, orang yang baru aku kenal sekitar 30 menit yang lalu. Pasrah…hanya itu yang dapat kulakukan. Aku hanya jongkok, merapatkan kedua lututku, dan menempelkan dada montokku kearah paha. Berusaha sebisa mungkin tak memperlihatkan vagina dan belahan dadaku sama sekali.
Melihat aku yang kebingungan mencari posisi paling aman tuk menyembunyikan auratku, Mas Manto pun ikut sedikit menjauh. Dia mengambil posisi di seberang halaman, dan duduk di bangku kayu panjang, yang berjarak sekitar 2m dari tempatku duduk mencuci. Bangku itu hanya setinggi lutut orang dewasa, yang jika mas Manto duduk menghadapku, lutut dan pantatnya berada dalam posisi yang sejajar. Sehingga membuatku dapat dengan leluasa menerawang kedalam handuk kecilnya dan melihat perjuangan cd putih kecilku menyembunyikan penis besar mas Manto.
“Jadi sama-sama tau aurat masing-masing lah…” pikirku gampang.
Mas Manto ternyata orang yang mudah bergaul, ramah, dan suka memuji. Tak heran, aku yang biasanya tertutup akan adanya orang baru, merasa begitu nyaman dan bisa ngobrol lama dengannya. Apalagi dia bukan orang yang mata keranjang. Karena walau aku berbaju begitu minim, mas Manto mampu menahan keinginannya tuk menatap tubuhku lama-lama, hanya sekilas saja ia melihat, lalu melengos ke arah lain, seolah-olah tak peduli sama sekali. Situasi tegang diantara kamipun lama-lama mencair, karena mas Manto tahu sekali bagaimana berbicara denganku. Sering becanda dan pintar merayu orang. Diapun tak segan tuk tertawa terbahak-bahak ketika aku bercerita lucu. Bahkan tak jarang selangkangannya dapat aku lihat dengan jelas ketika dia tertawa. Ketika tertawa, kadang ia mengangkat kaki dan memegang perut sehingga penis yang terbungkus cd putihku sering terpampang dengan jelas. Sama sekali tak berusaha tuk menutupinya.
“Penis hitam mas Manto berusaha menampakkan dirinya… penis itu bersembunyi di dalam cd putihku… yesss…. aku bisa melihat penisnya lagi…. penis besarnya…” hanya itu pikirku ketika melihatnya tertawa puas.
Kadang aku berpikir, apakah mas Manto adalah seorang ekhibisionis. Seorang yang memiliki penyakit psikologis, suka memamerkan penisnya kepada orang lain.
“Iya… aku yakin dia adalah seorang ekshibisionis.. tapi,ah masa bodoh… yang jelas mas Manto adalah teman yang enak diajak ngobrol…. toh aku sudah merasa begitu nyaman dengannya…” pikirku, berusaha untuk tak memperdulikan kekurangannya.
Karena aku sangat yakin akan tingkah mas Manto, yang terkadang dengan sengaja membuka lulutnya lebar-lebar, seolah mempersilakan mataku tuk mengagumi batang penisnya yang hitam, membuatku pelan-pelan, juga mulai membuka diri, melemaskan semua pertahanan tubuhku. Semula aku yang hanya duduk jongkok, menutup semua aurat, sekarang sudah mulai melebarkan lututku, sedikit mengkangkang. Selain aku merasa capek dengan posisi jongkok yang rapat itu, aku juga ingin mempernyaman posisi mencuciku. Mas Manto bersandar di dinding pagar halaman belakang rumah kami, sambil menatap ramah kearahku. Sesekali ia beranjak, memindahkan air dari bak penampungan, dan menuangkannya ke bak cuci yang aku pinjam darinya. Ia tampak begitu tenang, walau aku tau, saat ini penisnya dah mengeliat karena melihat kemolekan tubuhku. Tapi wajah itu, begitu santai, seperti tak ada kejadian apa-apa. Aku terhanyut oleh auranya. Iya. Aku hanyut olehnya. Terbukti, walau tak beberapa lama kami bercakap-cakap, tapi aku sudah merasa kalau mas Manto tuh seperti orang yang benar-benar dekat denganku. Bahkan tak jarang kami mulai melontarkan ejekan dan gurauan jorok.
“Mas Manto… jorok deh.. dah gede gitu masih ngompol…” kataku disela-sela percakapan seru kami..
“Ngompol…. Idih… nggak lah…?”
“Lalu …itu apa hayoo…? kok ada yang ngalir dari dalem handuknya? Ah pasti ngompol tuh?” godaku lagi..
“Ohh… ini…?” mas Manto menunduk, mencari tau apa yang aku maksud, diusapnya cairan yang merembet turun dari dalam handuknya, dia pun mencium, dan merasakan cairan yang ada di tangannya. Dia melirik kearahku. Lalu berkata “Cuih…ini mah sabun bekas aku mandi tadi….”
“Sabun?” tanyaku heran. Sebenarnya aku tahu kalau yang mengalir turun dari dalam pahanya tuh bukan sabun, melainkan spermanya sendiri yang tak tertampung di cd putihku yang ia kenakan. “Hahahaha… bisa aja…”
Cucian demi cucian telah selesai dibilas, sampai akhirnya aku temukan cd hijauku. Cd yang bekas digunakan mas Manto untuk melilit batang penisnya ketika ia onani. Onani brutal yang membayangkan dan menyebut namaku. Cd hijau bergambar bunga-bungan dibagian vagina, yang berlumur sperma mas Manto. Kuraih cd hijauku dan kurasakan lendir yang menempel di permukaannya. Hangat, licin, dan bertekstur. Detak jantungku kembali berdetak dengan cepat.
“Aku memegang peju mas Manto…” batinku. “Aku merasakan benih-benih yang dimuntahkan oleh penis mas Manto…”
Ingin aku rasanya mendekatkan cd hijauku yang berlumuran sperma itu kehidungku. Menghirup aroma anyir spermanya, menjulurkan lidahku, menyentuh dan merasakan tekstrur sperma mas Manto. Mengecapnya, penis mas Manto, oh, mas Manto.
“Mbak…? Kok diem aja ?…. Hayo ngelamunin apa…?” suara mas Manto membuyarkan lamunanku.
“Eh… anu… ini…” jawabku bingung, mencoba mengembalikan pikiranku dari imajinasi yang tak jelas.
“Waduh… itu bekas pejunya mas Andri ya mbak…?” celetuknya, langsung, to the point.
“Eh.. kenapa mas?…” Tanyaku, kaget.
“Iya… itu pejunya mas Andri khan?…banyak juga ya mbak… pasti tadi pagi habis……” jawabnya lagi. Memperjelas kalimat yang tadi ia tanyakan sambil tertawa cengengesan.
Aku merasa mukaku seperti kepiting rebus, merah padam, menahan malu. Sepertinya mas Manto mengetahui apa yang terjadi antara aku dan suamiku tadi pagi. Sepertinya suara desahan kami terlalu keras sehingga terdengar sampai rumahnya. Sepertinya itu alasan kenapa tadi ketika onani, mas Manto memanggil-manggil namaku. Ia pasti membayangkan bersetubuh denganku.
“Mas Andri pasti seorang yang sangat beruntung ya mbak… “ mas Manto beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan kearahku.
“Tiap malam bisa… hmmm anu………” ia tak meneruskan kalimatnya dan menantikan jawabanku.
“Anu apa???…..” tanyaku lagi.
“Anu… itu tuh…” jawabnya sambil memajukan bibirnya, menunjuk kearah dada dan selangkanganku… “…….pokoknya puas deh mas Andri sepertinya….punya istri cantik dan bahenol kayak mbak Liani… Hahahahahaha…” kelakarnya.
“Idih ngaco…” jawabku tersipu. Aku ambil air dengan gayung, lalu aku lemparkan air itu ke badannya. “Dasar otak mesum….” Aku tertawa.
“Omong-omong, mas Manto tau cd putihku nggak?” pancingku.
“Cd putih…?” tanyanya sambil mengaruk rambut kepalanya yang tak gatal.
“Iya… cd putih yang ada rendanya… kali aja mas tau… soalnya khan mas yang mindahin semua baju kotor aku…” pancingku. Aku tatap wajahnya, mencari tau, apa akan yang ia lakukan setelah mendengar pertanyaanku barusan.
Terlihat ada sedikit keterkejutan yang tersirat di wajah mas Manto namun langsung saja hilang, dan berganti lagi dengan raut wajah yang tenang.
“Hmmm… yang mana ya?” jawabnya pura-pura tidak tahu.
“Cd putih yang ada renda-rendanya..” ulangku lagi. Kembali aku tatap wajahnya, tapi kali ini aku alihkan tatapanku. Dari wajahnya yang tenang ke arah selangkangannya yang melompong. Sebenarnya aku tahu bahwa cd putihku tak hilang, melainkan dipakainya sebagai bahan onani. Dan sekarang cd itu ia kenakan untuk menahan konaknya agar tak muncul dan terlihat olehku.
“Waduh… saya kurang tahu tuh mbak… mungkin terselip kali di tumpukan cucian tadi” jawabnya “Eh… tapi ntar klo saya temuin, saya dapet apa?… bisa dapet isinya nggak?…”
“Idih ngawur aja deh….”
“Yaaa… kali aja bisa dapet…. Pasti masih kenceng deh…. ga memble kayak punya si Narti gitu ….” jawabnya enteng.
“Kenceng… mobil balap kali mas…?”
“Iya…lah itu buktinya ada di cd mbak Liani…pejunya mas Andri bisa tumpah ruah seperti itu…. berarti isi cd itu masih kenceng khan?… Klo Narti kayak gitu, saya bisa punya banyak anak nih… hahahahaha”
Entah kenapa, mendengar kelakar mas Manto, seharusnya aku marah, tapi yang aku rasakan beda. Aku merasa malu tapi sekaligus bangga.
“Punya banyak anak?”
Aku tatap cd hijau itu yang belepotan sperma mas Manto dalam-dalam. Andai yang ia dikatakan itu benar, betapa bahagianya aku. Aku dan mas Andri sebenarnya telah menikah selama 3 tahun, namun selama itu, kami masih belum dikaruniai seorang anak. Suamiku bukannya mandul, melainkan ada gangguan pada testisnya, sehingga benih sperma yang dikeluarkan, banyak yang tidak lengkap. Selain itu, volumenya juga tidak begitu banyak. Konsultasi dan terapi kesehatan sudah kami lakukan, namun belum juga membuahkan hasil. Aku sisihkan cd hijauku itu, tak aku campur dengan cucianku yang sudah bersih. Mas Manto hanya tersenyum-senyum melihat tingkah lakuku dalam memperlakukan cd hijau yang terkena spermanya. Dan aku pun membalas senyumannya. Segera aku selesaikan cucianku, dan aku jemur. Mas Manto pun tak mau tinggal diam. Dia ikut membantuku menjemur semua baju-bajuku. Tak jarang kami saling pandang, dan tersenyum. Bahkan terkadang tangan kamipun bersentuhan ketika mengambil baju yang akan dijemur. Tiba-tiba aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Masa dimana aku dan mas Andri sedang kasmaran. Saling lirik, saling senyum dan saling sentuh. Namun kali ini orang yang membuatku kasmaran bukanlah mas Andri, melainkan mas Manto, tetangga baru kenal yang aku rasa begitu nyaman jika dekat dengannya.
“Kamu cantik banget mbak….” Mas Manto merayuku. “Seksi..”
Aku hanya bisa tersenyum sambil tersipu malu. Pujiannya sungguh membuatku melayang ke awang-awang.
“Makasie ya mas.. buat pinjaman …..”
“Ah… biasa aja mbak…” potongnya. “kalau mbak butuh yang lain… saya misalnya… langsung saja ya mbak… ga usah sungkan-sungkan… hehehehehe…” tambahnya lagi, tersenyum penuh harap.
Ketika tanganku hendak mengambil bak cuci mas Manto, dia langsung mencegahnya, memegang pundakku, dan meraih tanganku.
“Gak usah repot-repot mbak… biar saya saja yang membawa bak cucinya…”
Cukup lama tanganku berada didalam genggaman tangannya. Dan selama itu pula mas Manto memainkan jemari jangannya. Meraba, mengelus, dan meremasnya dengan perlahan. Melihat aku yang hanya diam saja, mas Manto pun mengangkat talapak tanganku dan dikecupnya perlahan.
Mukaku kembali memerah. Malu.
“Kalau butuh saya ya mbak…”
“Iya…. Iya….” Jawabku gugup. Aku langsung menarik tangan dan mengambil cd hijauku. “Ma… makasih banyak ya mas…”
Aku langsung masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu dapurku rapat-rapat, meninggalkan mas Manto sendirian di halaman belakang rumahku. Detak jantungku tak bisa diatur, nafasku berat, dan mukaku merah.
“Gila… Sangat gila… Ini adalah awal mula sebuah perselingkuhan…” kataku dalam hati. Aku tahu ini semua mulai berjalan kearah yang salah, namun jauh didalam hatiku, aku menginginkan semua kesalahan ini.
Aku dekap cd hijauku erat-erat, aku tatap dalam-dalam dan aku bayangkan semua kejadian barusan. Aku merasa terangsang. Cairan vaginaku terasa seperti mengucur keluar dengan derasnya. Aku kembali menatap keluar melalui jendela dapurku, mencari tau apa yang sedang dilakukan oleh mas Manto sekarang. Berharap dia masih ada di tempat semula.
“Dia masih ada…” batinku. Mulutku semakin lebar mengembangkan senyum. Apalagi setelah tahu yang ia lakukan sekarang. Jauh lebih nekat.
Mas Manto berada di belakang pintu dapurku. Berdiri agak membungkuk. Handuk hijau lusuhnya sudah tersampir di pundak kirinya. Cd putihku yang ia kenakan tadi, sudah ia turunkan sampai sebatas paha, tangan kirinya kedepan, menopang tubuhnya pada dinding pintu dapurku, dan tangan kanannya, menggenggam erat batang penis miliknya yang sudah berwarna sangat merah. Dikocoknya penis itu dengan cepat, sampai terdengar bunyi “tek tek tek”. Suara kulit penis yang terenggang dan tertarik oleh tangan kekarnya.
“Mbak Liani….. ohhh…. Mbak Liani…..” erangnya tertahan.
Lututku kembali melemas. Aku langsung jatuh terduduk. Menyandarkan punggung dibawah jendela dapurku.
“Mas Manto sedang beronani di balik pintu dapurku” batinku girang.”mas Manto sedang mengocok penis besarnya di belakang pintuku”
Jantungku terasa seperti mau loncat melalui mulutku. Aku sudah sangat terangsang. Vaginaku gatal, berdenyut hebat, pengen sekali digaruk oleh kejantanan mas Manto. Aku tatap lembar pintu dapur yang ada disamping kananku. Aku tatap gagang pintu yang berada ditengahnya. Hanya sekali putar saja, aku bisa membuka pintu itu dan mempersilakan mas Manto tuk masuk ke rumahku. Aku sudah begitu terangsang, tanganku, entah sejak kapan juga sudah mengobok-obok vagina dan klitorisku.
Aku benar-benar menginginkan mas Manto untuk masuk ke dalam rumahku, menciumku, menjilat payudaraku, menyodok vaginaku, dan menumpahkan seluruh spermanya yang kental kedalam rahimku. Seumur hidup, tak pernah aku merasakan nafsu seperti ini. Dengan lutut yang masih gemetar, aku memberanikan diriku tuk berdiri. Aku coba mengintip, apa yang mas Manto lalukan sekarang. Dia masih dalam posisi yang sama. Mengocok batang penisnya kuat-kuat. Aku bulatkan tekad, memberanikan diri tuk membuka pintu dapurku. Aku tak peduli akan apa yang akan orang lain katakan jika mereka melihat kami selingkuh. Aku tak peduli akan resiko yang akan aku peroleh jika hubungan gelap yang akan aku mulai dengan mas Manto ini sampai diketahui oleh suamiku. Ya. Hanya itu. Aku ingin kenikmatan dan kepuasan. Aku ingin merasakan kenikmatan yang selalu gagal aku capai dengan mas Andri, suamiku. Aku raih gagang pintu dapurku. aku tarik nafas dalam-dalam, dan aku putar ke bawah.
“Arrrrrgggggghhhhh….Mbak… Liaaaaannnniiiiiiii….”
Aku dikagetkan oleh suara erangan mas Manto. Enam semburan kencang ditembakkan ke arah pintu dapurku. Mas Manto telah orgasme duluan, sama seperti mas Andri, aku kembali ditinggalkan terangsang seorang diri. Aku urungkan niatku. Gagang pintu itu tak sempat aku putar. Aku hanya bisa menyesali ketidak beranianku.
“Mas Manto….” Aku hanya bisa memanggil namanya lirih. aku merasa begitu kecewa dan mengutuk diriku yang tak berani mengambil resiko.
Masih dari balik korden jendela dapurku, aku lihat mas Manto berdiri tertegun. Menatap penis dan cipratan sperma yang membasahi pintu dapurku. dada bidangnya naik turun, dan nafasnya terengah-engah. Mukanya berwarna merah. Dengan tangan yang masih mengurut-urut batang penisnya ia berusaha mengeluarkan semua cairan dari dalam kantong zakarnya. Tak lama kemudian, dengan kondisi masih tanpa mengenakan baju apapun, mas Manto melangkah mundur, pergi meninggalkanku, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Mendadak, tak terdengar suara sedikitpun. Sunyi.
“Pluk…pluk…pluk…” Saking sunyinya, sampai telingaku mampu mendengar suara tetesan air keran yang berada di halaman belakang rumahku.
“Blak… keblak.. keblak…” Suara kebatan baju basah milikku yang dihembus oleh semilir angin.
Sunyi….perlahan, aku putar gagang pintu dapurku dan kugeser perlahan pintu dapurku sampai terbuka semua. Aroma tajam sperma langsung menyengat hidungku. Aroma dari kejantanan seseorang yang baru saja menjadi idolaku.
“Gila…Banyak sekali….” Pikirku.
Sperma itu membasahi pintu dapurku, setinggi perut. Terdapat sekitar enam lokasi cipratan sperma yang masih menempel dan merayap turun ke tanah. Rasa penasaran itu pun muncul kembali. Aku julurkan tanganku, menyentuh sperma yang masih mengalir turun itu. Aku usap-usap, dan aku masukkan beberapa jemari tanganku ke dalam mulut.
“Inikah rasanya…?” bibirku mengecap perlahan.
Merasa kurang puas merasakan sperma yang masih menempel itu, aku lalu jongkok. Memposisikan diriku dihadapan lokasi cipratan sperma mas Manto yang masih menempel di pintu dapurku. Aku julurkan lidah, menutup kedua mata, dan memajukan kepalaku. Kutempelkan lidahku ke pintu kayu yang belepotan sprema itu.
“Asin…” kataku dalam hati.
Mendadak, aku seperti merasa tak mengenali diriku lagi. Aku merasa tidak seperti Liani yang sopan, berpendidikan, dan bermoral baik. Sekarang aku merasa seperti pelacur yang haus akan kepuasan. Aku bersihkan semua cipratan itu dengan tangan dan lidahku. Bahkan tak jarang, sperma yang belepotan ditangan, aku colok-colokkan di vaginaku, membayangkan kalau tangan kecil milikku itu adalah penis besar mas Manto. Aku tak peduli jika ada tetangga yang melihat aktivitas gak wajarku. Yang jelas, saat ini, aku begitu bernafsu untuk dapat menghabiskan semua sperma gurih yang menempel di pintu dapurku.
Part 2
“Dek… liat deh yang sudah mas bawain buat kamu…” sambil tersenyum, suamiku mengangkat kantong kresek hitam yang ia bawa. “Aku bawain kamu… sup dan sate kambing… buat bekal kita menghabiskan malam minggu ini bersama… hehehehe… “
“Aduh… kamu emang yang paling top deh mas…”
Setelah menyantap makan malam, tak lama kemudian aku dan mas Andri pun memulai apa yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Ya, kami bersetubuh. Aneh. Dalam persetubuhan kali ini, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda muncul dari dalam diriku. Aku lebih bisa mengekspresikan diriku, lebih bebas, dan lebih agresif. Tak ada lagi rasa nyeri seperti yang tadi pagi aku rasakan ketika mas Andri menusukkan batang penisnya kevaginaku. Semua terasa begitu nikmat. Malah, sekarang aku tak malu lagi untuk melenguh, mendesis dan berteriak lebih lantang. Jauh lebih lantang daripada biasanya. Dan yang paling aku rasa aneh adalah, aku mampu dua kali orgasme. Sekali ketika disodok dari belakang oleh mas Andri, di samping meja makan. Mirip seperti posisi tadi pagi. Dan sekali ketika aku dalam posisi telentang, diatas kasur tidur kami yang luas. Aku tak tau, perubahan dalam diriku ini dikarenakan sop dan sate kambing atau karena hal lain. Hal lain…
“Malam ini kamu benar-benar beda dek…. lebih beringas… mas suka itu… hahahaha…” kata suamiku sambil mengacak-acak poni rambutku.
“Apaan sie mas… adek mah biasa aja kok…. Mas aja kali yang yang dah nggak sabar pengen ngewe sama adek….”
“Bener dek… kamu beda… tatapan mata kamu… senyum kamu…dan yang paling beda… memek kamu… lebih peret…” pujinya.
“Aah mas bisa aja…”
“Aku sayang kamu dek…” tangannya yang besar menelungkup diatas tubuhku, menyelimutiku dengan rasa sayangnya.
“Adek juga sayang kamu, mas…………”
Masih dalam keadaan telanjang bulat, kamipun akhirnya tertidur.
***********
Minggu pagi datang begitu cepat.
“Met pagi ratu manjaku…” kecupan hangat dan basah mendarat di putting kananku. Segera saja aku buka mataku dan membalas salam pagi suamiku.
“Dasar tikus hutanku…..” tawaku renyah.
Seharian itu kami merasa seperti penganten baru. Bersetubuh, bersetubuh, dan bersetubuh. Seolah-olah kami mendapat kekuatan baru yang membuat badan kami selalu fit. Pintu dan jendela rumah sama sekali tak kami buka, karena kami bersetubuh di seluruh area rumah. Memasak, mencuci dan segala aktifitas rumah tangga pun, kami lakukan seperti kaum nudis. Tanpa menganakan baju sama sekali. Semua terasa seperti mimpi.
**********
“Masku sayang… ayo ah… bangun…. “ kataku sambil memukul-mukulkan batang penis lemasnya yang sudah bersih keperut buncit suamiku. “ dah bersih nih dedenya….”
Mas Andri yang masih dalam kondisi telanjang bulat, tetap saja berdiam diri, telentang di atas kasur dan membuka tangannya lebar-lebar. Dadanya naek turun dan nafasnya masih terengah-engah. Dia memutar kepalanya kebawah, menatap aku yang masih menungging setia di atas pahanya. “Aduuuh… mas masih capek nih dek…. 10 menit lagi ya…” jawabnya.
Gemas karena mendengar jawaban malas, aku gigit batang penisnya pelan.
“Iya…iya…iya… ampun…. Mas bangun…. Ampun dek…”
“Hahahahaha… nah gitu donk…ini udah siang… ayo berangkat kerja… katanya ntar ada meeting…?”
“Astaga… kamu bener…”
Tergopoh-gopoh mas Andri bangun dan berlari ke kamar mandi. Tak menutup pintu kamar mandi, mas Andri langsung mengguyur kepalanya.
“Sayang tolong siapkan semua perlatan kantorku ya… mas dah telat nih…” Sambil keramas, dia menginstruksikan padaku barang apa saja yang mau dibawanya meeting.
“Syukurin… biar aja telat…makanya jadi tikus hutan tuh liat-liat waktu donk… sini kalo masih mau nambah… adek siap melayani… hahahaha” kataku sambil berdiri di depan pintu kamar mandi, meliuk-liukkan tubuhku bak penari erotis.” Come”on… come to mama…” ejekku lagi…
“awas kamu ya… “ kata mas Andri sambil melempar air dengan gayung…
“Dek, mas berangkat dulu ya… harus buru-buru nih… ntar malem kayaknya mas pulang agak telat deh… jadi kamu jaga diri baik-baik ya…” nasehatnya sambil mengecup keningku.
“Iye…iye….dasar baweeeeel… sana gih buruan berangkat” kataku pada suamiku tercinta.
Dengan gemas. Mas Andri melakukan salam perpisahan khas kami. Meremas kedua belah dadaku, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku. Ia lalu beranjak pergi sambil melambaikan tangan.
Kembali, aku seorang diri lagi rumah kontrakan baruku ini. Menjadi ibu rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan mencuci baju. Tiba-tiba aku teringat akan kejadian kemarin lusa. Kejadian gila yang membuatku berubah menjadi Liani yang baru. Liani yang nakal, binal dan tak kenal malu ini. Kejadian awal perselingkuhanku dengan tetangga samping rumahku. Mas Manto. Kakiku melangkah ringan menuju belakang rumah, lalu kuputar gagang pintu dapurku. kubuka lebar-lebar pintu itu dan mengamati keadaan di sekelilingku. Masih tetap sepi seperti kemaren lusa. Hanya saja, aku tak melihat cucian mas Manto yang dijemur. Hari ini, hanya ada beberapa helai cucian kotor yang teronggok basah di bak cuciku. Tapi entah kenapa, aku sepertinya ingin segera mencuci lagi. Dengan hanya mengenakan daster pendek tanpa daleman sama sekali, kembali, aku menyeret bak cuciku kearah halaman belakang rumah kontrakanku.
“Cburrr…..cbuuurrrr……” aku mendengar suara air dan gayung.
“Wah … mas Manto sedang mandi nie…” pikirku.
Vaginaku yang masih basah karena baru saja disodok-sodok mas Andri tadi, mulai kembali berdenyut. Cairannya mulai membanjir turun kearah pahaku. Putting dadaku juga mulai mencuat, menampakkan keberadaannya dibalik daster tipisku. Dadaku berdebar-debar dengan hebatnya dan lututku pun mulai melemas.
“Tok… tok… tok…” aku ketuk pintu dapur mas Manto yang tertutup rapat.
Suara deburan air itupun sejenak terhenti. Mas Manto menutup keran airnya, dan berteriak lantang. “Yaaa… sebentar…. Syapa ya…?”
“Sa… saya mas… “ kataku putus-putus menahan nafsu yang sudah memuncak “Liani…”
Aku mendengar mas Manto membuka pintu kamar mandinya, berjalan kearah pintu dapur dan membukanya perlahan. “Yaa…? Ada apa ya mbak….?” Katanya tenang.
Pria idamanku sekarang berada di depan mataku. Pria yang selalu aku bayangkan ketika bersetubuh dengan mas Andri, suamiku, sekarang benar-benar ada didepanku. Dia terlihat begiru segar, sama persis seperti saat aku meminjam bak cucinya sabtu kemaren. Badan dan rambut yang masih sama, basah terkena air mandi, namun kali ini agak berbeda. Aku tak lagi melihat handuk lusuh berwarna hijau yang terikat di pinggang rampingnya. Saat ini, mas Manto dengan sangat percaya diri, berdiri dalam kondisi tanpa mengenakan penutup aurat sama sekali. Telanjang bulat, memamerkan batang penisnya yang menjulang tinggi melewati pusarnya. Cairan vaginaku sudah tak tertahankan lagi. Meleleh turun, membasahi paha dan betisku. Aku benar-benar terangsang.
“Mas Manto… bisa pinjem …..” tanyaku lirih sambil menyunggingkan senyum selebar mungkin.
“Bisa…” potongnya sambil memamerkan senyum paling indah sedunia. Senyum tenang yang selalu menghanyutkan diriku. Diraihnya pergelangan tanganku, dikecupnya pelan, dan diletakkannya telapak tanganku tepat di kepala penisnya yang sudah berdenyut hebat.
“Yuk…mbak… “
Aku terima ajakan mas Manto, melangkah masuk ke dalam rumah kontrakannya, dan menutup pintu dapur di belakangku rapat-rapat.
Pengikut
Open Clan Ninja Saga
Open Recruitment:
Please For Go A Clan Hidden LeaF AlliancE
Search For Code {42539}
Search
Popular Posts
-
“Dek, ayo buruan… sebelum aku kesiangan…” kata mas Andri, suamiku. Dia berdiri di samping meja makan yang telah bersih dari peralatan makan...
-
Tools: CE Cheat Engine Tutorial HP HP God 1. Buka Ninja Saga (jangan diplay dulu). 2. Buka Cheat engine dan pilih process dari browser...
-
Mba Ana Namaku Andi mahasiswa di sebuah universitas terkenal di Surakarta. Di kampungku sebua...
-
Persiapkan : 1. Cheat Engine 5.5/5.6.1 2. Cari gambar komputer kecil yg ada kaca pembesar 3. Open browser anda ( Cari : Opera , Mozilla , ...
-
Hai nama ku nana aku mau menceritakan pengalamanku tentang kehidupan seksku yang sedikit menyimpang Aku nana,ce, ciri –ciri ku 165/50 34b ...
-
Link: Fiddler File SWF Tutorial fiddler : Jalankan Fiddler Klik Tab AutoResponder (yg icon-nya petir hijau) Centang kotak "Enabl...
-
Updates Wallhack Chams + No Smoke upport All Windows Updates 21 Sept 2011 Downloads Cheat : Click Here Downloads Password : Click Here...
-
Pesta Dengan 5 Tante Suatu sore aku iseng kirim SMS ke ponsel Tante Rissa. Sekedar say hello aja sih, soalnya udah lama juga aku nggak ke...
-
Release Auto HS Show Off Mode + Ammo On Mode + Recoil Mode Updates 22 Sept 2011 Downloads Cheat : Click Here Downloads Password : Clic...
-
http://wowby.net/download-modz-game/3df43x34dgjfg5fdm167fdmng2bndbfhdv646fnuu4.html Fitur: 1hit zombie Wall hack walkthrugh dll...
Labels
- Cheat tidak diperjual belikan (1)
- kOntOL (1)
Blog Archive
Laman
Jumlah Pengunjung
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "